Rabu, 24 Juli 2013

This Man (Part 1)



Kaki tanganku mulai kesemutan. 2 jam sudah menunggu dan menganggur  di Bandara Internasional Korea ini. Tas ranselku kini bergolek lemah di kursi besi sebelah. Aku menyesal sudah merencanakan ide gila ini. Berangkat dari Indonesia ke Korea hanya untuk sekedar memboyong kamera dan menuai foto-foto eksotis 12 pria tampan asuhan SM Entertainment. Sebut saja EXO. Membayangkan mereka saja sudah membuatku ngilu. Berbekal sisihan uang jajan bulanan yang kuhitung-hitung bulannya sudah melebihi jumlah jari tanganku, aku berangkat dengan bangga ke Korea. Padahal setelah beberapa jam disini aku akan terbang lagi pulang. Miris.
Menurut info yang kudapat, mereka ber-12 akan terbang ke Russia tepat pukul 1 siang, tapi sampai sekarang batang hidung mancung mereka pun tak jua muncul. Jarum pendek jam tanganku sudah menunjuk angka 1.30. Membuatku resah, jangan-jangan infonya salah. Bagaimana kalau salah? Kuteguhkan hati lagi, berusaha membuang semua kemungkinan buruk.
Sudahlah lebih baik tunggu saja. Hatiku menenangkan. 5 menit, 10 menit, sampai  30 menit mereka tidak juga nampak. Ketukan kakiku semakin lambat ketika mataku tiba-tiba menangkap sosok pria tinggi lengkap dengan kacamata hitamnya. Boarding dress-nya mencolok. Kemejanya yang putih bersih seperti tak mau kalah dengan wajah tampan bak porselen itu. Kris. Tangannya menenteng tas hitam bermerk. Sedangkan tangan satunya menggenggam erat ponsel. Segera kubidik pose-pose elegannya dengan lensa kameraku yang terbatas. Bagai arak-arakan Orion, member yang lain pun mengikuti di belakang Kris. Mungkin karena jam keberangkatan mereka mundur 100% para paparazzi tak tampak meskipun satu. Tak menyia-nyiakan kesempatan emas didepan mata, telunjukku yang mulai terampil berulang kali menekan tombol shutter. Dimulai dari tingkah konyol Chanyeol sampai pose cute Luhan, semua tak luput dari bidikanku. Tapi ada yang mengganjal, bibirku berdesis menghitung. Kris, Lay, Baekhyun, Tao, Suho, Chen, Xiumin, Luhan, Sehun, Chanyeol, ahh . . dimanakah gerangan my dark skin? Juga little DO? Aku celingukan mencari mereka berdua.
Akh . . kini bidikan mataku yang menemukan dua sosok yang kupuja. Masih dengan baju ala couple yang selalu tampak padan. Hari ini Hoodie melekat santai di tubuh mereka berdua. Kai dengan Hoodie merah dengan benang simpul tertaut di bagian kiri dan kanan. Sedangkan Do tampak semakin bersinar dengan Hoodie kuning cerahnya. Snap! Snap! Snap! Jari telunjukku bergerak sendiri tanpa diperintah. Tahu saja kalau objek tampan didepannya sudah menunggu. Do yang menyadari keberadaanku langsung berpose. Pose polos dan lugu seperti biasa. Tangannya menyikut rusuk Kai, menyuruhnya berpose juga. Kai dengan canggung membentuk tanda peace lewat tangannya, tapi lama-lama dia mulai bertingkah. Jarak kita semakin dekat, jantungku semacam mencelos ketika Kai dengan sengaja mengedipkan mata padaku dengan congkaknya. Akh, damn!This man is really arrogant. Suhu Korea tiba-tiba memanas. Kulihat mereka berjalan lamat-lamat. Mataku masih mengekor, tapi entah kenapa Kai berkali-kali menatapku. Aku menoleh kebelakang dengan gugup, mungkin orang lain. Pandangannya merekam, lurus, penuh, dan fokus. Aku menelan ludah, ada apa dengan mata itu? Mengarah padaku. Lagi dan lagi.
Aku berjalan gontai. Misi terpenting dan terkhusus dalam hidupku sudah dilaksanakan. Pesawatku berangkat pukul 6 tepat, masih 3 jam lagi. Bagaimana kalau berjalan-jalan sebentar, sepertinya ide brillian. Kalau untuk sekedar hunting foto waktuku lebih dari sekedar cukup. Mataku berpendar mencari kotak minuman kaleng. Rasanya tenggorokanku sedang musim kemarau. Didinginkan dengan pria tampan pun tidak akan mempan. Lemari pendingin yang kucari berdiri kaku di sudut tempat parkir. Aku bergegas menghampiri kotak penyelamatku itu. Kurogoh uang recehku kemudian kumasukkan di tempatnya, terdengar bunyi kaleng minuman yang jatuh. Senyumku melebar, minuman dingin sudah ditangan. Aku menengadahkan kepala, kuminum jus rasa jeruk itu dengan liar. Aku tersentak kaget ketika ada tangan besar menepuk pelan pundakku. Minuman dimulutku juga ikut kaget, memalukan.
Are you Korean?” pria paruh baya berdiri santai dibelakangku. Menanyaiku dengan lancang. Tapi tak urung kujawab juga pertanyaannya, walaupun dengan bahasa inggris-ku yang bisa dibilang minim.  
No, you know me?” suaraku terbata-bata. Jari telunjukku menunjuk diri sendiri. Apakah ada kesalahan? Perasaan aku tidak melakukan apa-apa. Tuhan. Desisku dalam hati.
No” pria itu menggeleng, membuatku semakin bingung. Matanya kemudian tersenyum, “Will you come with me?” Tanyanya lagi. Mataku membulat sempurna, kakiku pun refleks mundur menjauh. Pertanyaan macam apa itu, aku sama sekali tidak mengenal pria ini. Kenapa tiba-tiba memintaku ikut dengannya. Yang benar saja, apa ini modus penculikan. Berbagai argument mulai berloncatan dikepalaku.
Aku refleks menggeleng, kulihat dia tertawa keras,”You don’t know me? How can.” Sahutnya kemudian. Cih! sombong sekali memangnya dia siapa. Aku merengut. “Of course I don’t know you, please tell me now who you are?” sungutku kesal. “My plane was leaving at 6. I have to go now.” Aku menjelaskan lagi. Tidak ingin berlama-lama dengan omong kosongnya. Ya, hanya itu. “you shouldn’t go, there is someone who wants to meet you” dia memohon. Wajahnya berubah serius.
Aku mencoba mengingat-ingat wajahnya. Tampak familier, tapi dimana aku pernah bertemu dengannya. “You have to believe me, I’m not a bad person” Tambahnya lagi, semakin membuatku dilemma. Melihat sikapnya aku berpikir dua kali. Memangnya siapa yang ingin bertemu denganku. Ini pertama kalinya aku ke Korea.  Antara penasaran dan takut, aku masih diam tak memberinya jawaban. “You will not regret it, he really wants to meet you” sepertinya dia serius, dari tampangnya juga seperti orang baik-baik. Entah kenapa hatiku menjawab YA. Akhirnya aku putuskan untuk ikut dengannya, masalah siapa itu urusan nanti. “Okay I will go with you but what about the plane”. tanganku menunjuk ke arah bandara. Senyumnya melebar, tampak  deretan giginya yang putih. “it doesn’t matter, I'll set it up later” Aku mengangguk paham. Tangannya merangkulku menuju sebuah van yang terparkir tak jauh dari tempat kami berdiri. Setelah aku masuk van mulai berjalan, tapi mataku menangkap pemandangan yang sedikit janggal. Van ini didominasi warna hitam, simbol segienam yang kukenal ada dimana-mana. Apa pemilik van ini adalah penggemar EXO? tanyaku ragu. Tapi segera kutepis, bagaimana mungkin seorang bapak-bapak menggemari boyband. Aku tertawa sendiri, tak sanggup membayangkannya. Kuhentikan pikiran liarku yang penasaran, kutajamkan telingaku pria didepan kemudi sedang bernyanyi-nyanyi kecil. Lagu yang sangat kukenal. Part of Peterpan song.
Aku mulai terbuai dengan nyanyiannya. Mataku menutup sedikit demi sedikit dan akhirnya lelap sempurna. Baru tersadar ketika akhirnya sampai di depan sebuah bangunan real estate yang tinggi menjulang. Pria yang masih belum juga kukenal itu mengintruksiku untuk mengikutinya. Kakinya melangkah panjang-panjang, kami berdua masuk kedalam lift dan tangannya menjulur kedepan menekan tombol up. Tak berhenti juga sampai kita menginjak Lantai 5. Ting! Akhirnya sangat bersyukur bisa segera keluar dari benda pengap ini. Aku masih mengikutinya penasaran, belum cukup untuk menebak alur selanjutnya. Sebelum aku sempat berpikir lagi, dia berhenti tepat didepan kamar nomor 243. Tangannya menekan angka password dan 2 detik kemudian pintu sudah terbuka lebar.
Tangannya mendorongku masuk. Sebuah apartement 2 kamar yang lengkap dengan pernak-perniknya. Warna-warna klasik lebih mendominasi. Perabotan yang tertata rapi, minimalis tapi sempurna dan akurat. Kekaguman mulai melandaku. Sebelum aku lupa diri, aku tersadar kemudian menodong pria yang kini sudah duduk santai di sofa dengan beribu pertanyaan.
Wait mister, What does all this mean? Brought me here and . . “ suaraku terputus. Tercekat.
I’m really serious. Wait for him, maybe he’ll get here at 2 a.m.”  ujarnya sambil melihat arloji yang melekat di tangannya.
Him? You talk about him and him again. Who is him?” aku tak tahan lagi. Tatapan marahku memaksa pria itu untuk menceritakan yang sebenarnya.
Tangannya menepuk pelan sofa empuk yang sedang didudukinya, menyuruhku ikut duduk disampingnya. Sepertinya dia akan memulai penjelasan, sesuatu yang memang kubutuhkan semenjak tadi. Aku duduk perlahan, mengambil bantalan sofa lalu kututupkan pada pahaku. Kurang nyaman  dan merasa tidak sopan dengan bawahan yang kupakai.
This afternoon a man came begging to me, asked me to bring you to him. You guys didn’t know each other. But somehow he was still forced to see you again. You meet him and he seems to fall in love with you. He rarely behave like this, i knew he was serious. And as a good brother I'm trying to grant his request” aku tertegun dengan ceritanya. Tiap katanya melayang-layang diatas kepalaku. Air mukanya tampak benar-benar serius.  
But how could I believe. Stories like that only exist in the drama” aku menimpali lagi. Masih tidak percaya dengan bualannya. Dia menepuk pundakku pelan, kemudian berkata lagi, “Yeah, it’s love at the first side. And i’m sure that your destiny.” Aku masih terdiam. Ucapannya masih berdengung ditelingaku. Insiden apa lagi ini, tidak tahu harus disyukuri atau bahkan disesali. Tuhan masih menyimpan takdirnya untukku, setidaknya sampai pukul 2 nanti. Aku melihat lagi pria disebelahku, napasnya berat membuatku ikut sesak. Bibirnya melengkung ketika mengetahui aku tengah memandanginya. Dia beranjak, membetulkan sedikit kemejanya yang berantakan lalu berniat pergi.
Sorry I have to go. I prepared all, surely you're also hungry. Because you're not the Korean  person I've been preparing ramen. Whatever, you can do anything. Just enjoy this place until he comes. And one more, call me Seunghwan Oppa” Tangannya mengusap pipiku pelan. Menganggapku seperti adiknya sendiri. Aku sendiri mulai merasa nyaman. Tangannya mengeluarkan secarik kertas dari saku, 4 digit angka tertera disana. Password katanya, aku mengangguk mengerti. Diayuhkan langkahnya menuju pintu, “ Oppa, my name is Ninri. Emm, not my real name. My Korean name of course.” Ucapanku yang tiba-tiba membuatnya menoleh, tersenyum lalu melambaikan tangan. Pergi.
Sendirian di apartemen sebesar ini membuatku sedikit merinding. Mulanya aku berniat untuk bertahan meringkuk di sofa, tapi tak kusangka udara malam kota Seoul benar-benar diluar dugaan. Aku mulai menginterogasi setiap sudut ruangan. Menyematkan tapak kakiku yang asing, berkenalan dengan lantai kayu yang kuinjak. Mataku berkali-kali melirik tangga di sudut ruangan. Mungkin hanya beberapa anak tangga, tapi cukup membuatku penasaran. Tempat tidur empuk terbayang dipelupuk mata. Kakiku bergerak naik, sandal rumah yang kupakai berdecit halus. Sampai di anak tangga teratas, aku melongokkan kepala terlihat pintu kayu dengan boneka skull tengah menyambutku. Menggodaku untuk meraih kenopnya dan dengan magisnya aku terpengaruh tak berdaya.
                Kubuka pelan-pelan pintu yang ternyata tidak terkunci itu. Aku melangkah masuk, aroma maskulin langsung merayu panca inderaku. Semakin dihirup semakin membuat ketagihan. Mataku mencari clue, tapi tetap tak ada jejak. Bahkan sampai aku duduk di ranjang besar di tengah ruangan identitas si pemilik belum juga kutemukan, secuilpun belum. Entah kenapa aroma tadi semakin menusuk hidungku, membuatku mabuk. Bahkan bantal-guling juga berlomba untuk mempesonaku. Kurebahkan perlahan tubuhku, dan mulai berimajinasi. Menggambarkan wajah yang disebut Seunghwan Oppa sebagai “Him”. Otakku menggabung-gabungan sketsa wajah, mulai dari member Suju sampai member Btob. Semacam tidak cocok, jari telunjukku dengan mantap meledakkan buih imaginasi diatas kepala. Aku menyerah dengan kenyataan, merebahkannya di pangkuan bulan yang sinarnya nampak lewat jendela. Detik berikutnya alam bawah sadarku sudah berkuasa. Menghipnotis lebih dalam.
                Debuman langkah, suara keran air, disusul suara berisik lainnya mengganggu  tidur nyamanku. Rasanya aku tidur seperti orang mati, salahkan ranjang dibawahku. Dengan kasur selembut ini siapapun pasti enggan melepas mimpi. Tubuhku sudah tak merasakan dingin. Kain lembut dan tebal melingkupiku mulai dari kaki sampai dagu, nyaman sekali. Tapi aku ingat, aku tidak mengambil selimut waktu pergi tidur. Jangan-jangan . .
                Mataku langsung melotot. Kantuk yang tadinya mengikatku sekarang sudah pergi entah kemana. Aku mencari disetiap sudut kamar, tidak ada seorangpun disini. Lega rasanya, untuk saat ini aku masih bisa bernapas layaknya manusia normal. Tapi Tuhan dengan sangat baik hati mencabut kebahagian sesaatku. Terdengar bunyi Klik! Dari pintu kamar mandi. Berpura-pura tidur lagi tapi inderaku mendengar langkah sayup-sayup mendekat. Jantungku berdetak keras, seperti tak dapat dikendalikan. Kuturunkan selimutku sedikit, mengintip. Pria itu membelakangiku. Punggung tegapnya membuatku menelan ludah. Apa harus semua pria melakukan ritual ini sehabis mandi? Berdiri di depan kaca sambil mengagumi ketampanannya sendiri. Aku mulai menyalahkan kaca yang dengan laknatnya membiaskan tubuh sempurna itu dengan gamblang. Tangannya yang ahli menyemprotkan parfum tepat di dada six pack-nya. Wajahnya masih buram. Masih tak dapat kukenali. Otakku seperti mengumpulkan puzzle yang berserakan, menyatukan kepingannya satu-satu.
                “You’re awake?” suara seraknya mengagetkanku. Membuatku menciut. Kaos putih sudah terpasang asal dibagian atas tubuhnya, menutupi dada bidangnya yang sama sekali tidak manusiawi. Kemudian pria itu berbalik dan saat itu juga aku tersadar, puluhan kembang api seperti meletup-letup dikepalaku. Bukan, tidak hanya kembang api, petasan, dynamite, bahkan bom atom pun ikut memenuhi kepalaku.
                “Oh” Hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Bagaimana tidak seseorang yang biasanya kau lihat dari layar laptop, kau elu-elukan poster jumbonya, dan kau teriakkan saat fangirling kini berdiri tepat dihadapanmu. Memandangmu sayu tapi menggoda.  Tak lagi maya, tapi nyata.

Selasa, 23 Juli 2013

His Innocent



Aku keluar dari gerbang sekolah tepat pukul 9 malam. Make up class hari ini benar-benar sangat lama dan membosankan. Karena jarak rumahku dan sekolah tidak cukup jauh maka kuputuskan untuk berjalan kaki saja. Lumayan untuk berolahraga dan menghirup udara segar. Sedikit mengurangi rasa penat. Tapi malam ini berbeda, udara sangat dingin. Kurapatkan jaket yang melekat ditubuhku. Senyumku tersimpul setelah rasa hangat datang dari mantel coklat itu. Tapi beberapa detik kemudian aku menghela napas ketika menyadari bagian bawah tubuhku masih terterpa angin. Rok sekolah ini benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Salahku juga karena memilih rok yang terlalu pendek. Sudahlah,nikmati saja.  Baru beberapa meter aku berjalan, tatapan mataku berhenti pada beberapa blok lampu didepanku yang ternyata sudah padam. Aisshh, masih pukul berapa ini, Kenapa lampu jalan sudah dimatikan? Sungutku dalam hati. Aku takut-takut melewati blok itu, dan mulai berpikir untuk mempercepat langkah.
                “Ya, Kim Nabi!” Terdengar teriakan dibelakangku. Langkahku terhenti. Sepertinya aku mengenali suara itu. Tapi tidak ingin mengambil resiko, setelah mempersiapkan kuda-kuda aku menoleh takut-takut. Yang pertama tampak adalah rambut pink-nya. Mataku lalu bergerak kebawah mengamati. Pundakku melemas lega, tangan pria itu melambai liar padaku. Luhan.
                “Fiuhh, aku kira kau preman” Jawabku sambil berbalik dan berlari kearahnya. Luhan bergerak maju, tangannya terentang mengisyaratkan pelukan. Akupun membalas pelukannya hangat. Pasti dia sangat merindukanku. Tampak dari matanya.
                “Kau kemana saja, atau sudah lupa denganku?” Luhan memberondongku dengan tatapan ingin tahunya. Aku menepuk pundaknya tanpa berkata apa-apa. Kulepas pelukannya. Masih ingin menatapnya lama-lama. Ketika air mukanya berubah galau, baru kujawab pertanyaanya.
                “Eeey, jangan bergitu. Masak aku bisa lupa dengan sahabatku sendiri” Melemparnya dengan senyuman innocent-ku. Luhan adalah sahabatku semenjak di Junior School. Dulunya kami preman sekolah. Memalak anak-anak culun disekolah, bolos saat jam pelajaran, dan melakukan semua hal yang dilarang di peraturan sekolah. Sayangnya kami masuk di SMA yang berbeda. Dan ditambah lagi aku yang kemudian pensiun karena tuntutan seseorang. Wajahku sumringah ketika membayangkan sosok seseorang itu.
                “Tapi tunggu . .” Aku melihat sahabatku itu dari kepala sampai kaki. Penampilannya masih tampak seperti bad boy. Ah, dia tidak pernah berubah. “Luhan, kau harus segera menyusulku, jadi pria baik-baik itu lebih menyenangkan” aku mencibirnya. Pria itu tersenyum kemudian mengangkat tangannya untuk mengacak-acak rambutku. “Tidak akan, aku tidak akan menjadi lemah sepertimu. Mana pacarmu itu? Pria macam apa membiarkan pacarnya pulang malam sendirian.” Dia berganti mencibir.
                Aku tertawa mendengar ucapannya. “Aku ini kan mantan preman, siapa yang berani menggangguku?” Jawabku sambil meninju perutnya. Luhan pura-pura meringis. “Benarkah? Pasti kemampuanmu sudah berkurang. Kau kan sudah tidak pernah berkelahi” Luhan menatapku dengan kasihan. Aku mendengus mendengar ucapannya. Dia menantangku. Lihat saja apa dia bisa mengalahkanku.
                “Baiklah, bagaimana kalau kita coba?” aku menantangnya duel. Matanya melebar mendengar ajakanku. Kemudian sorot lembut muncul lagi di sepasang mata bulatnya. Bibirnya terangkat, tersenyum. Luhan tidak menjawab, tapi langsung mengepalkan tangan. Tanda dia sudah bersiap. Tinjuku melayang padanya. Kagetnya aku, ketika Luhan dengan mudahnya menangkap tanganku dan mendorongku mundur sampai punggungku terhenti disebuah tembok sebuah toko. Aku terperangkap di kedua lengan kuatnya. Senyumnya menggangguku. Walaupun jujur itu membuatnya tampak lebih cute.
                “Nabi-ya, sepertinya ability-mu bukan hanya berkurang tapi sudah hilang” Bibir Luhan mulai mengeluarkan ejekan mautnya. Aku balas menatapnya dengan senyum getir. Berusaha menahan kuat tangannya. Untung saja lorong ini sepi, kalau tidak pasti orang-orang sudah ramai. Dan mungkin nasib Luhan sudah berakhir di tangan mereka yang tidak tahu apa-apa. “Ya! Kau sudah banyak berubah ternyata. Kalau aku menyerah bagaimana kalau kau mentraktir-ku makan ice cream” Sepertinya mengalah lebih baik, daripada harus menjadi bahan ejekannya. Setidaknya menyelamatkan harga diri, dan tentu saja lebih menguntungkan. Pikirku dalam hati.
                “Kau menyerah? Ckck benar-benar bukan kebiasaanmu.” Luhan tertawa dengan tawaranku. Aku tersenyum malu-malu padanya. Wajahku lalu berubah memelas. “Kau mau tidak, cepatlah kedai ice creamnya sebentar lagi tutup” Aku mengujinya. Dalam hitungan ketiga pasti dia akan melepaskanku. Aku sangat tahu weakness-nya. Dan sel otakku belum sempat menghitung ketika . .
                “Ya! Lepaskan dia!” Terdengar teriakan membahana. Refleks aku dan Luhan menoleh bersamaan. Mataku melebar melihat siapa yang tengah berteriak pada kami. Sedangkan ekspresi Luhan berubah jadi aneh. Dahi mulusnya mengerut. Genggaman kuatnya terlepas tanpa sadar. Pria berseragam sama dengan yang kupakai berdiri tak jauh dari kami. Napasnya memburu seperti habis lomba lari. Matanya yang tajam membuatku merinding. Aku bergidik melihatnya. Dan aku tahu dengan pasti siapa pria itu. 
Tanpa bisa dicegah pria itu berlari menghampiriku. Menarik Luhan menjauh dari tubuhku. Aku masih melongo dengan semua tindakannya. Hantaman tangannya menyapu wajah Luhan. Bibir mungilnya kini berdarah. Dorongan kasarnya tadi membuat Luhan jatuh ditanah. Kurasakan tangannya yang gemetar meraih tanganku kemudian menarikku menjauh, meninggalkan Luhan yang masih terduduk ditanah. Genggaman tangannya terlalu erat membuatku tersaruk-saruk menyamakan langkahnya. Tapi pikiranku masih terpaku pada Luhan. Apa dia baik-baik saja?
                “Jongin-a berhenti, kumohon” aku memelas padanya. Tapi dia seperti tuli. Jangankan menghentikan langkah, menoleh pun tidak. “Tidak akan, sebelum kita aman dari preman sialan itu.” Jawabnya dengan suara parau. Preman sialan? Dia benar-benar sudah salah paham.
                “Kai! Dengarkan aku. Kim Jongin!” tanganku menghempaskan tangannya. Aku berhenti dan tentu saja membuatnya ikut berhenti. Matanya menatapku bertanya. Bibirku tak mengeluarkan suara. Mataku yang berkaca-kaca membuatnya iba. Tubuhnya berbalik kemudian memelukku. Aku menangis dipundaknya. Tangan kanannya yang bebas mengelus punggungku menenangkan. Aku tahu dia sangat khawatir.
                “Kau tidak apa-apa? Jangan menangis, kau aman sekarang” Suaranya membuatku melembut. Salah paham ini harus diluruskan. Memang bukan sepenuhnya salah Kai. Aku lupa dengan penampilan Luhan. Situasi juga yang memperkuatnya.  
                “Bodoh, aman apa maksudmu?” Aku melepaskan pelukanku untuk melihat wajah khawatir Kai. Dia memang pacarku, tapi aku sedikit menahan tawa mengingat sikapnya yang sedikit berlebihan tadi. Tanganku merapikan rambutnya yang berantakan. Dan tidak sengaja terlihat luka mengering didahi kirinya. Kai mengaduh ketika luka itu kutekan. Sekarang wajahku yang berubah khawatir. Lalu kudengar penjelasan singkat dari mulutnya.
                “Hanya luka sedikit, yang penting sekarang kau sudah bersamaku. Tapi kenapa kau mengataiku bodoh?” Kai bertanya-tanya. Tangannya masih memelukku. Aku melepas pelukannya kemudian mengajaknya duduk. Teras toko sepertinya lumayan nyaman.
                “Kau tahu tidak siapa pria tadi?” Aku bertanya padanya sambil mengeluarkan tissue dari saku seragamku. Jariku membersihkan luka didahinya. “Sudah pasti dia preman, kau tidak lihat penampilannya” tandasnya yakin. Aku tertawa mendengar jawabannya. “kenapa malah tertawa?” Tangan hangatnya menghentikan tanganku. Matanya tak mengindahkanku, pura-pura marah. Aku lalu menjelaskan padanya. Siapa Luhan dan apa yang terjadi tadi itu bukan acara palak-memalak atau apapun seperti yang dia pikirkan. Akupun menceritakan dari awal pertemuan dadakanku dengan Luhan.
                “Aku tahu kau pasti berbohong, sahabat macam apa sampai seperti itu” Jawabnya berkilah berusaha mematahkan penjelasanku. Aku mendekat kemudian bersandar dibahunya. Menyadari perubahan sikapku, kerasnya mencair. Kai membetulkan posisi duduknya. Sedikit merendah, membuatku nyaman dengan tinggi tubuhnya yang sedikit tidak manusiawi.
               “Kau ini memang bodoh, kalau dia memang preman pasti dia sudah membalas pukulanmu” Suaraku menyentaknya. Kai terdiam menimbang-nimbang penjelasanku. Kepalanya menggeleng tak percaya “Benar dia sahabatmu?” Tanyanya lagi meyakinkan. Aku mengangguk dibahunya. Terdengar desahan keluar dari bibirnya. “Kenapa?” Aku menoleh padanya lagi. “Aku sudah terlanjur bangga karena sudah menyelamatkanmu dengan tanganku sendiri. Ah, sial!” ketusnya. “Kau harus minta maaf” Jawabku menanggapi. Kulihat dia meringis kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dia malu, aku sudah hapal dengan sikapnya. Aku menepuk pundaknya sambil tersenyum. Kukirimkan sinyal *tidak apa-apa* lewat tanganku.
Aku mengeluarkan ponsel dari tasku, kemudian menunjukkan nomor telepon Luhan. Kai berdecak melihat sikapku. Matanya menatapku. Mengirim pesan telepati berisi “Jangan ketuk yang warna merah”. Aku memang berniat menelepon Luhan. Tangan jahilku menekan tombol dial, lalu menyerahkan ponselku padanya. Tangannya mengembalikan ponsel android itu di pangkuanku.
                “Halo” terdengar suara Luhan dari seberang.
                “Luhan-a, ini aku. Maaf untuk kejadian tadi. Kau baik-baik saja kan?” tanyaku basa-basi. Kai terlihat masih tidak percaya dengan apa yang kulakukan. “Tentu, aku baik-baik saja. Tapi pria tadi siapa? Temanmu?” Berondong Luhan ditelingaku. Aku tertawa kemudian menjawab, “No, he’s my boyfriend you know? Aku bersamanya sekarang. Dia ingin minta maaf padamu. Bicaralah dengannya.” Tanganku menyerahkan paksa ponselku pada Kai. Tangannya menerima ponselku dengan ragu-ragu kemudian kudengar dia mulai bicara pada Luhan. Entah bicara apa, aku juga tidak ingin menguping. Aku memandangnya puas.

Jumat, 14 Juni 2013

Time Machine (Part 7) -- Happy Ending

“Sudah jangan galau, boleh mengingat masa lalu tapi masa lalu yang menyenangkan” Nara berusaha mencairkan suasana sendu.
“Wine ini sepertinya membuatku sedikit mabuk. Lanjutkan ceritanya, kita habiskan sampai tengah malam.” Sora menaruh botol wine kosong ditengah tumpukan foto-foto terakhir kemudian menyantap potongan biscuit coklat milik Paran tepat disebelahnya.
“Hyaa…” Raungan Paran tampak tak iklas berbagi biscuit.
Kesenduan berubah menjadi kehangatan kembali. Semua wanita dengan wajah penostalgia ini ternyata masih menjadi pemerhati yang baik. Mulai kisah malu-malu Paran dengan cinta pertamanya, Ninri dengan pemetik gitarnya, Hadiah syal untuk Ji Eun yang tiba-tiba menghilang, cerita setan tampan yang menghentak hati Hyurin hingga cerita mahagalau Sora. Inilah ciri khas wanita dengan segala cuap cuap yang tak pernah habis.
Tak usah dibayangakan berapa lama mereka duduk, berapa banyak mereka memesan makanan dan minuman kemudian berapa kali harus kekamar mandi sekedar untuk pipis dan bermake-up. Yang paling sadis adalah seberapa parah kebisingan yang mereka timbulkan didalam cafe yang tak seberapa besar itu hingga malam, hingga café itu tutup.  Para pelayanpun serasa tak pernah berkomentar ataupun keberatan dengan kedatangan mereka. Intim.
Ada sesuatu yang mengetuk hati Nara saat jemarinya sudah menyentuh sebuah foto yang semestinya menjadi rahasia tersendiri.  Sedikit tersenyum kearah teman-temannya. Rasa penasaran bermunculan di atas kepala para sahabatnya.
“Eum..kali ini aku tidak ingin bernostalgia. Aku ingin me..eum..melakukan pengakuan dosa. Ya sepertinya ini saat yang tepat” Suaranya sedikit memaksakan keceriaannya.
“Apa itu?” Tanya Hyurin dengan wajah ingin tau.
Foto yang ia genggam diputarnya perlahan, kedua alisnya saling bertautan seperti gemas tapi juga takut-takut untuk mengejutkan para Venus yang dikerubungi rasa penasaran. “Mianhae~”
Sebuah foto berformat fotobox Nara dan sosok laki-laki yang awalnya terlihat asing hingga rekan-rekannya memutuskan untuk berdiri dari kursi kemudian berangsur menghambur kedepan, mendorong meja yang penuh dengan makanan. Membuat suara gelas-gelas berdenting dan bergeser. Fix! penglihatan mereka tidak pernah salah, Dongwan dengan rahangnya yang keras tertawa lepas. Selepas itu, yang ada hanya tatapan Ziinging~ dari kawan-kawannya dan yang paling tajam adalah Sora.
“A..a..aku akan menjelaskannya segera” Gugup Nara.
“Selama ini kau menutupi semua ini?” Sahut Ji Eun.
“Bagaimana mungkin disaat kita sibuk bermain api dengan cecunguk cecunguk itu, kau sibuk dengan Dongwan?” Celetuk Ninri.
“Bagaiamana kau bisa menyembunyikan ini semua selama dua tahun?” Pertanyaan menghujam yang lain datang dari Hyurin.
“Ooo..aku tau asal semua foto ini, sekarang” Paran menambahi.
“Ya...ya itu hal yang berbeda” Nara mencari alasan.
“Rasanya berbeda saat kau merasa kasmaran kan?” Sindir Sora membekukan mulut gadis sembrono itu.
Bervariasi pertanyaan dan sindiran menumpas segala kegalauan yang ada diam-diam mereka bercanda dalam aib yang dibangun Nara. Gadis itu memucat kemudian menarik nafas. Memandangi foto kenangan. Tersenyum manis. Kemudian mengawasi satu persatu temannya yang kini sudah kembali di singgasana zona nyamannya masing masing masih menahan rasa curiga dan kekesalan tapi tidak untuk Paran dengan pose imutnya.
“Aku tidak bermaksud untuk menyembunyikan hubunganku dengannya saat itu. Kalian sibuk dengan urusan permusuhan dua kubu sedangkan aku dan dia hanya sebatas saling bertukar informasi” Menjelaskan dengan santai. “Kalian tidak pernah curiga kenapa hanya aku yang tak pernah bertengkar dengan Shinhwa”
Ada rasa mengganjal saat mendengar penjelasan Nara yang sedikit meragukan “Dalam kondisi apa kau bisa jatuh hati padanya? Jelas jelas Dongwan…”
“Dongwan oppa bukan anggota Shinhwa” penekanan dari bibir Nara mematahkan argumen Ninri. Seketika memahami.
“Uuu..dia bahkan masih menyebutnya Oppa” Paran dengan lugunya mengompor keadaan. Kondisi dipenuhi dengan berbagai alasan dan keterangan yang membuat Venus focus dengan argument masing-masing. Ada yang menggerutu ada yang pasrah bahkan mengomel-ngomel sendiri merasa tak adil dan segala ocehan mereka meracau seperti pasar.
“Kan aku sudah bilang mianhae hal itu diluar prediksi. Aku putus dengannya setelah lulus SMA kemudian…”
“Permisi, Café Shinhwa akan tutup 15 menit lagi” Suara tak asing datang memecah suasana tepat ditelinga Nara, Paran, Ninri, Ji Eun dan Hyurin secara bersamaan. Tangan mereka sibuk memeluk  Venus dari belakang kecuali Sora membuat dia mengaduh. Kepalanya hanya menggeleng menanti sumber tangan yang lain memeluknya dari belakang tapi tak kunjung terjulur. Kepalanya mendongak.
“Apa? Kau mau dipeluk dari belakang?” Eric menyambar dengan kejam disebelah Sora yang berharap. Wajah Sora memerah.
“Kau ini suami macam apa, antar aku pulang sekarang” Desah Sora jengkel.
“Sudah selesai bermain-main dengan masa lalu?”
“Ya”
Senyum Eric mengembang. Tubuhnya yang tinggi tertunduk sekarang. Menatap mata Sora lekat-lekat. Tangannya terjulur disela-sela kakinya. High heels pink yang ia kenakan dilepasnya perlahan. Sora hanya termenung melihat tingkah aneh suaminya itu. Sekarang Eric memutar tubuhnya, menunjukkan bagian punggungnya yang luas. Dia berdecak “Ayo naik”
“Cieeee……” Semua menghuru-hara <~ (ini apa ya allah T.T Eric so sweet…*daaash!!*)
Mereka dengan segala kebodohan yang pernah dilakukan semasa SMA. Pelayan yang diam diam memperhatikan pembicaraan mereka, pelayan dengan celemek putih yang berlalu lalang seolah mengacuhkan para wanita dengan karakter yang berbeda. Kisah ke-fate-an mereka yang absurd hingga menjadi ini. Menjadi Café Shinhwa dengan owner suami-suami Venus sekarang. Kisah-kisah nostalgia tampak seperti kenangan terpendam namun dimasa depan adalah sebuah jawaban yang indah bagi Venus dan Shinhwa.
“Siapa yang tertinggal dibelakang, pasangan itu harus mengunci pintu Café. Siap?” Seru Eric.
Semua dengan permainan konyol mereka diakhir malam. Shinhwa dengan posisi membopong istri-istrinya di punggung. Berbaris sejajar. Konyol.
“START!!!” Aba-aba meluncur dari bibir Junjin. Menghempaslah mereka. Berlari kencang dengan kebahagiaan masa sekarang.
Hanya pasangan Dongwan dan Nara yang berpura-pura. Berpura-pura bermain. Menatap ke lima pasangan berlari kencang. Saling menjatuhkan sama lain. Menerobos pintu kemudian terjatuh bersamaan. Tertawa lantang. Hanya mereka berdua yang tertinggal. Saling melihat satu sama lain kemudian keduanya tertuju pada meja bundar yang masih tetap diam dengan segerumun sampah dan tak lupa potongan foto-foto sisa yang tertelungkup disitu. Apa yang ada dibaliknya?
Dibaliknya semua foto itu satu persatu. Pesta pernikahan Venus dan Shinhwa. Ji Eun dengan balutan wedding dress putih menggandeng Minwoo yang bergeming malu-malu. Paran dan Andy dengan pose bbuing bbuing mereka tertangkap candid camera memakai pakaian khas tradisional Korea. Ninri menyampirkan tangan kanannya dileher Junjin yang sedang asik memegang gitar. Hyurin dengan gayanya yang khas anak rajin. Memegang buku sebagai pengganti buket bunganya bersama Hyesung disebuah perpustakaan kota.
Sora dengan pose yang paling manis bersanding dengan Eric disebuah taman bermain. Yang terakhir adalah Dongwan menggendong Nara sambil memegang kamera kesayangannya dibawah pohon rindang. Foto mereka tampak biasa yang membuatnya tampak indah dan manis adalah balutan gaun-gaun putih bernuansa cream dan orange ditambah Tuxedo kehitaman milik mempelai pria yang begitu anggun, yang mereka desain sendiri untuk foto prawed dan pesta pernikahan mereka. Nara menata satu persatu foto itu. Membungkusnya dengan rapi dalam sekantong amplop coklat. Jangan sampai ini hilang….ungkapnya dalam hati.
“Takdir mereka berakhir sampai sini ya?” Dongwan angkat bicara.
“Hehe iya. Ketika takdir mereka dipertemukan oleh sebuah pick gitar, syal bahkan cerita galau masa lalu lantas apa yang mempersatukan kita?” Tanya Nara dalam keheningan.
Sambil menengok ke arah gerombolan huru hara diluar Café. Mata Dongwan menerawang jauh kedepan. Melambai pada orang-orang yang kini memberi isyarat untuk segera mengunci Café.
“Kamera? Kurasa tidak. Tapi Kisah mereka, pengalaman mereka yang telah mempertemukan kita. Tanpa sadar kita selalu ada disisi mereka, dalam kondisi senang sedih sekalipun. Kita selalu ada disisi mereka” Senyum Dongwan.

Kamis, 13 Juni 2013

Time Machine (Part 6) -- Blue Feeling

“Perjalanan nostalgia kita akan berakhir sebentar lagi, tinggal dua orang sebagai cerita penutupan” Ninri mengayun-ayunkan kepalanya ceria. Yang lain hanya bertepuk-tepuk sambil menatap ekspresi kosong Sora.
Tak pernah tau rasanya waktu diputar dan berputar. Seolah hanya cahaya yang mempermainkan kedua mata. Dari cahaya kekuningan, putih transparan lantas menjadi senja. Begitu yang dirasakan lalu lalang orang dan pelayan didalam café. Orang datang membeli sesuatu kemudian berlalu, entah berapa pengunjung datang dan pergi namun cuma satu meja itu saja, satu meja dengan segala cerita, imajinasi dan canda yang tak pernah pergi. Dan sekarang datanglah sang malam. Pengunjung mulai habis.
“Hm?” Sora tertegun kemudian tersadar “Oh..sekarang giliranku. Entah kenapa ada nuansa aneh disekelilingku. Mungkin waktu sudah mulai malam” Cengirnya.
Lima foto sudah hilang dari atas meja, dengan sedikit waspada wanita berkulit langsat itu mulai berdeham kemudian mengambil salah satu dari yang paling bawah dan paling terselip. Memperlihatkannya terlebih dahulu kepada keenam rekannya.
“Owhh…..”
Tak satu orang pun berkomentar panjang. Ia penasaran lalu melihatnya sendiri. Wajahnya melukiskan sesuatu yang absurd, entah karena sedih atau malah bahagia. Satu kondisi dimana Sora mendapat ‘blue feeling’, marah sejadi-jadinya dan air mata tumpah.
“Hya, kau yang mengambil foto ini” Menunjuk Nara dengan gayanya yang khas preman membuat gadis mungil itu tersenyum geli.
Sedikit bingung untuk memulai ceritanya, matanya mulai berputar melihat suasana temaram. Menghela nafas sejenak. Menaikkan poninya. Berpura-pura menghitung para pelayan yang tanpa interaksi. Bola matanya tertuju pada salah satu pelayan dengan tubuh tegap berhidung paling mancung diantara yang lain, sekan menarik perhatiannya, menyunggingkan senyum kepada pelayan yang tak menatapnya. Seperti menarik saja bagi Sora ketika melihat pelayan itu disibukkan dengan botol-botol wine didepannya.
Rekannya mulai mengantisipasi gerakan Sora yang tiba-tiba berdiri dari kursinya. Berjalan kearah pelayan dibalik meja bar. Membiarkan mereka bercakap satu menit, pria itu mengangguk, menaikkan kedua alis tebalnya lalu menggeleng perlahan. Memikirkan sesuatu. Sora memainkan rambut berkembangnya, memutar gelas-gelas kaca tepat didepannya. Sedikit menggoda. Diakhiri dengan kata sepakat. Tapi begitulah Sora dengan ciri adaptasi dan persuasi yang baik. Tak lama tangan kanannya kembali bersama sebotol wine. Sora si biang modus.
*****
“Emm..mianhae” Suaranya berdengung ditelinga sosok tegar, Sora. Bibirnya menciut, tas Puma kesayangan yang Ia jinjing dihempaskan begitu saja di tengah lorong. Botol minumnya keluar dari sisinya.
“Wae? Kenapa kau harus kembali?” Ada rasa penasaran dalam diri Sora. Pria dengan balutan seragam dengan warna berbeda itu mulai melangkah mundur. Bergegas mengambil ancang-ancang terkena hujatan dari gadisnya.
“Aku menyesal meninggalkan dan menyakitimu yang dulu sangat tulus… “
“Arraseo..” Sora bergegas memotong pembicaraan dengan angkuhnya. Matanya menatap sendu mata Key yang mulai kebingungan mencari alasan. Ia sudah tegar menghadapi hal macam ini, hal-hal menyakitkan yang pernah ia tempuh seperti bergonta ganti pasangan, menyakiti seenaknya tapi ia melakukannya karena hal ini. Karena alasan masa lalu yang membuatnya menjadi liar. Membeku dan menghancur seperti abu. Hatinya. Seperti tinjuan keras di ulu hatinya.
Diwaktu itu juga, mereka tidak hanya berdua tapi bertiga. Istilah tembokpun bisa mendengar telah terjadi diposisi Eric. Seperti adegan –adegan difilm romantis, ketika orang yang menarik perhatianmu sedang berdiri membelakangi pintu dan kau dibaliknya. Entah sejak kapan si rapper itu berada disitu, yang jelas sekarang dia hanya memandangi cermin-cermin yang memantulkan dirinya dengan mata kosong sambil menguping pembicaraan mereka.
“Kau tau, aku mengalami perubahan setelah pengkhianatan yang kau lakukan. Masaku sekarang bukan lagi gadis baik-baik dan lugu dengan segala kelembutan yang kupunya. Hampir tiga tahun aku memperlakukan laki-laki seperti anjing pesuruh” Pancaran matanya penuh rasa sakit. “Bagaimana caraku membangun itu semua? Kau tau? Dengan membencimu aku menjadi kuat, dengan tidak lagi mencintaimu aku menjadi menang dan dengan tidak memaafkanmu aku menjadi seperti sekarang. Kim Sora!”
Seperti dihujam pedang, segala maaf dan kegentle-an Key menjadi ampas. Sora layaknya mayat berhenti bernafas, berusaha menahan air mata. Sesak. Laki-laki didepannya adalah laki-laki pertama yang mengenalkan dia tentang cinta dan pengkhianatan. Pria pertama yang menjadi kekasihnya, yang paling ia sayang, kesedihan yang ia rasakan seakan melayang, kesenangan yang menjelma menjadi kayangan saat bersama Key.
Ketegangan yang mereka alami dirasakan juga oleh Eric. Dari yang hanya sekedar duduk hingga tubuhnya yang sekarang hampir terhentak. Meresapi setiap kata yang dihunuskan Sora kepada Key. Dia kehabisan kata.
“Sekarang, apa pembelaanmu?” Sinis gadis itu.
“K..kau sudah berubah. Kemana Kim Sora dengan senyum lebarnya? Perilaku childish yang suka mencari perhatian? Pelukan hangat yang sering aku dapatkan, mimpi yang sering ia ungkapkan”
She is gone. Get lost with her amazing dream. Apa yang kita bangun dulu adalah bualan belaka sekarang. Semuanya tampak seperti debu bagiku. Dan kau hanya halangan kecil yang akan hilang terbawa angin” Senyuman menghina perlahan ia sematkan. “Mianhae, Key oppa…”
Wajah Sora yang tajam perlahan mencair dengan segala kepura-puraan akan perasaan yang masih tersisa. Rasanya ingin memaafkan dan menerimanya kembali. Namun perasaan tersayatnya masih tak ingin berhenti. Masih meronta ingin disembuhkan dengan kejahatan manis sebagai playgirl untuk saat ini. Ada amarah yang benar-benar ingin ia hamburkan keluar, hampir tak tahan dan bengah dengan segala yang menyangkut hati.
Segera ia meraup tas dan botol minumnya. Merampas segala kemarahan dan kesedihannya sementara. Tubuhnya berbalik meninggalkan Key yang memucat. Pintu menjebam didepan wajahnya yang tampan.
“Hya!! Apa yang kau lakukan disini?!” Sontak Sora terlonjak, melihat Eric yang juga terbelalak dengan topi Wolf dibibirnya. Congkak.
“A..aku se..sedang dance practice” Terbata-bata. Gelagatnya mulai konyol setengah ketakutan saat atmosfir berubah menjadi membeku. Mata Sora tak bisa lagi diajak bercanda “Mianhae” Tambah Eric.
Keheningan membuat studio makin aneh. Seakan tanda untuk Eric membuka pembicaraan. Kini Sora mulai menaruh barang-barangnya diujung ruang, menyiapkan dance practicenya sendiri. Memilih-milih kaset yang akan ia putar. Mencoba menyembunyikan perasaannya yang gundah dalam kebisuan.
“Uhm..ehem. Hei bicaralah seperti orang bodoh saja tidak mau bicara. Jika ada masalah bicaralah”
Kepala Sora menegok sekelas kearah Eric. Ada yang semakin membakar emosinya. Diredamnya perlahan. Untuk saat ini membiarkan Sora sendirian adalah hal yang terbaik namun pria nakal itu tak kunjung menghentikan keisengannya. Tak bermaksud memperburuk keadaan hanya saja percakapan kecil mungkin membantu.
“Hei..Sora-ya! Jika diajak orang bicara sopanlah sedikit hargai..isk dasar wanita”
Eric lepas bicara. Sora mendongak kali ini. Kekesalannya membuncah. Menatap wajahnya lekat-lekat, mengerjab lalu mendesah kasar. Langkah kakinya menguat selangkah demi selangkah, mendekati Eric. Didepan matanya yang ada hanya samsak, setiap laki-laki hanyalah samsak. Tangannya mulai menggenggam erat ujung kaosnya, melepasnya kuat-kuat. Dibuangnya ke lantai. Bibir Eric menganga, memerah melihat musuhnya hanya memakai potongan tanktop dan celana pendek. Jadi seperti ini Sora saat latihan. Mata Sora memerah.
“Apa yang kau lihat? Apa yang kau mau dariku? Kenapa kau dilahirkan? Kenapa kita selalu dipertemukan pada saat yang tidak tepat? Bagaimana kau dengan mudahnya menjahili kehidupanku? HAH?? Kenapa kau yang muncul? KENAPA?!!”
Kemarahan itu membuat Eric melemah, baru pertama ia bertemu dengan wanita kasar sekaligus kuat dalam memendam emosinya, dalam bersandiwara, menciptakan scenario untuk panggung hatinya. Luruh sudah jantungnya, merasakan perasaan simpati yang dalam. Tak bermaksud membunuh perasaannya perlahan. Dia tau segala yang membuat Sora seperti ini. Karena pengkhianatan dari orang yang pernah ia cintai dengan tulus.
“Aku membenci, membenci setiap lekuk tubuh laki-laki pengkhianat sepertimu, Laki-laki yang sering bermulut manis, pengecut. Laki-laki yang setiap saat menyibukkan hari-harinya menjahiliku….” Bibir Sora mulai bergetar. Tak ingin mengakui air ini adalah setetes air matanya. Air mata bukan untuk keisengan Eric tapi untuk kekesalan yang lain. Perasaan menolak untuk menerima kembali masa lalunya. Ia masih mengoceh, mengeluarkan segala unek-unek dihatinya. “Laki-laki bernama ERIC MUN bahkan antek-anteknya sekalipun……” Eric terhempas sesaat. Sora kehabisan nafasnya.
Apa yang perlu dilakukan Eric sekarang? Semarah apapun wanita, pelukan adalah cara terbaik yang harus dilakukan.
“Biasanya wanita itu akan menangis sangat kencang, tapi mengapa cuma kau wanita yang menangis hanya setetes. Aneh.” Eric memelukknya erat. Suara paraunya memecah kemarahan. Sora menikmati pelukan itu sebagai sebuah kebodohan.
Sepinya semakin terasa ketika mereka berdua sama-sama termenung, memahami satu sama lain dalam dekapan mencekam yang pernah mereka lakukan. Eric dengan segala rasa bersalahnya , Sora dengan segala hatinya yang sesak.
Pintu studio tiba-tiba terbuka, sosok Nara muncul, masih dengan kameranya yang selalu menggantung dilehernya. Memanggil Sora dengan suaranya yang tinggi. “Soraaaa…..ya~” kemudian nadanya merendah saat melihat adegan yang tak biasa antara dua orang berperangai keras itu. Snap! Lensanya cepat-cepat beradu. Sebelum rekannya menjerit membodohkannya secepat kilat Nara pergi.
“Nara-ya! Kembali kau…!!!”
*****
“Apa yang kau rasakan setelahnya? Kau menyukai Eric kah setelah itu?” pertanyaan godaan mulai muncul dari kepolosan Hyurin sebagai ajang balas dendam.
“Hehe..berakhir dengan personality talentnnya yang waktu itu makin membuatku antara muak dan lumayan mencairkan susana” Sora meletakkan botol winenya yang tinggal setengah. Hampir habis ia tenggak sendirian.
“Jangan bilang dia melakukan performent rap distudio?” Tebak Ji Eun dengan perasaan kaget, tak berusaha melerai sahabatnya yang sedikit mabuk.
“Haha. Jjang!”
*****
Saneun geot Manheun geoseul da pogihae ganeun geot…….. Bokgu halsu eomneun hyujitngeul biwo. Miro Wiro Nal geonjyeojugil gido
Lagu yang ia nyanyikan berhenti dengan pose wajah meyakinkan dan paling keren untuk menghibur Sora yang bad mood. Tapi tetap saja tidak mengubah suasana pertengkaran menjadi persahabatan anatara dua kubu. Yang ada semua barang Eric; tas dan jaketnya diberikan begitu saja.
“Out! Kau bukan dancer jadi pergilah. Cukup sehari ini aku berbaik hati selebihnya jangan harap” datar Sora.
“Hash..baru pertama kali juga aku melihat wanita yang sangat sombong dan tak tau berterima kasih setelelah mendapat pelukan” sekilas Eric mendecak untuk menggoda Sora yang sekarang muncul semburat kemerahan di pipinya yang pucat.
“Pelukanmu itu untuk gadis gadis yang tidak punya akal sehat” Mata Sora mulai melotot dan mengepalkan tinjunya. Eric keluar dengan tampang paling manyun yang pernah ia lihat.
Holding your heart, Sora….berfikirlah kau  masih punya akal sehat.
*****