Minggu, 21 April 2013

Time Machine (Part 3) -- Benang Merah

“Aku memilihmu, wahai engkau si baju kuning sebersinar mentari, seceria pagi menyambut jagat raya. Choi Ninri!!”
Matanya menyipit, mulutnya terbuka ceria berakting manis manis. Diraupnya satu foto—
Here we go----
*****
Seketika mulut Ninri membentuk huruf O kecil sembari berteriak “Astaga…inikan” dipandanginya foto yang ia ambil lekat-lekat. Matanya bersinar, ada sesuatu yang membuka rahasia yang pernah ia temukan.
“Ce-rita! Ce-rita!” Semua tangan bertepuk-tepuk. Sorakkan demi sorakan datang dari teman-temannya yang duduk melingkar dengan ekspresi penasaran.
Foto itu benar-benar menggelikan. Diambil Nara dalam sebuah toko peralatan musik. Tampak angle dari belakang saat itu. Dikelilingi oleh pajangan dinding berbagai model gitar dan beragam warna-warni senar, dihadapkan pada sosok penjaga toko dengan kumis kecil, tampang cerah menatap mesin kasir. Junjin memandangi Ninri dengan dingin, tangan kanan menjulurkan sejumlah uang dengan tampang angkuh seakan enggan untuk memberikan uangnya. Ninri dengan ekspresi ‘mong-nya’ menoleh kaget setengah kagum.
Tapi, bukan itu yang menjadi fokus Ninri dalam foto itu namun apa yang dipegang Junjin ditangan kirinya. Iya, ditangan kirinya, benda kecil meragukan. Benda kecil yang tak sengaja tersimpan.
*****
“Aku bingung, aku ingin warna senar yang terlihat lucu, tidak hanya itu-itu saja tapi warna apa ya enaknya, yang pantas untukku…” Galau gadis lugu itu, “….aku ingin tampil lebih berwarna” Lanjutnya.
“Imagemu ceria tapi disisi lain kadang aku melihat dirimu berwujud seperti Lady Rocker hmm….bagaimana kalau merah atau biru muda yang segar-segar dan tampak kontras dimata” Nara mencoba memberi saran.
Si yang disebut-sebut Lady rocker ini manggut-manggut tanpa henti, menggoyangkan seluruh tatanan rambut kuncir kudanya. Nara hanya berusaha mengerti keadaan temannya yang bingung. Masih tak lepas dari jeratan kamera yang selalu dibawa kemana-mana. Mereka hanya berjalan berputar-putar selama satu setengah jam mengelilingi kompleks pertokoan alat musik dan belum ada yang cocok untuk dinaungi bahkan hanya sekedar masuk atau bertanya-tanya.
Karena lelah mereka memutuskan untuk sekedar duduk di bangku pinggir jalan sambil meneguk sekaleng jus anggur dingin dari mesin minuman terdekat. Dua orang seperti terlantar ditengah kompleks pertokoan. Menengok kekanan dan kekiri. Kala itu malam, sekitar pukul delapan lebih. Tengah kota tampak ramai, aroma buah, spicy milik daging asap yang dipanggang dan roti manis semerbak bertebaran dijalanan tertib. Padahal jalan tertib yang artinya tidak boleh ada hambatan dijalan itu tapi aroma jajanan pinggir jalan masih menggelitik hidung keduanya. Kadang peraturan memang untuk dilanggar sekali-kali.
“Ninri-ya, sampai kapan kita hanya berkeliling – keliling begini. Sementara disekitar kita banyak jajanan yang menggoda” Tatapan lensa Nara mengarah pada gerobak bertuliskan ‘Sweet Apple’. Satu jepretan khusus untuk satu tusuk apel merah berlilitkan coklat mengkilat yang digenggam oleh pemuda memakai mantel coklat pula, “Ah lezatnya..hanya bisa memotret saja”.
“Kenapa tidak beli?”
“Hehe, tak ada jatah jajan dihari Senin. Mahagalaunya anak SMA”
Ninri hening saat itu, tak menggubris keluhan Nara. Bukan karena tak ingin membelikan, melainkan penasaran pada sebuah  toko tepat dihadapannya. Toko kecil bernuansa klasik. Terpampang gantungan-gantungan aksesoris dan beberapa perabotan musik yang menarik perhatiannya.
“Ayo, masuk kesitu” tunjuknya.
“Hmm…boleh”
*****
 “Yakin memilih warna-warna itu?” Lirikan mata Nara seakan tak puas pada pilihan sobat galaunya.
“Ehm..entahlah” Memilin-milin senar yang terjajar rapi didepannya. Hitam, Merah marun, Emas dan Biru muda.
“Aku tinggal hunting ya, ada biola lucu disebrang sana” Nara berlari kecil meninggalkan Ninri yang sibuk menimbang. Tak lama dari jauh sudah terdengar snaping-an kamera Nara. Gadis yang kini sendirian hanya menghembuskan nafas panjang.
Aneh kah jika warna senarku tampak mencolok sendiri sedangkan anggota lain berwarna normal? Tapi ini penyambutan yang meriah bukan? Iya, aku harus berani beda…tapi

“Biru muda” suara yang tak asing menyambar telinga Ninri.
Ninri menoleh perlahan, dilihatnya pemuda tinggi itu, tepat disampingnya. Wajahnya santai dibalut mantel coklat yang menjuntai. Junjin. Produk ciptaan Shinhwa yang lain. Dunia ini dipenuhi orang-orang ini. Ekspresi Ninri seketika hambar.
Bagaimana bisa dia tiba tiba muncul ditempat seperti ini. Mengerikan. Ia bertanya-tanya dalam hati.
“Aku memang memilih ini sejak tadi” berusaha berkilah tanpa menatap mata bulat Junjin lebih lama.  
“Ya sudah, bayar kalau begitu” celetuknya dengan gaya paling arogan.
“Issh, menyebalkan. Selalu saja dipertemukan oleh orang-orang sepertimu. Tidak disekolah ataupun ditempat seperti ini sekalipun”, cibir Ninri kesal, “Pak tolong bungkus yang biru muda”.
Kekesalan Ninri membuahkan kesialan. Dompetnya tampak berbobot waktu dimasukkan dalam tas selempangnya. Dia masih ingat betul ada lima lembar uang yang dimasukkan dalam dompet abu-abunya hanya saja dia setengah ingat saat ditanya oleh otaknya sendiri berapa total nominal yang dia punya. Wajah Ninri mulai memucat karena uang yang dikeluarkannya tidak cukup untuk membeli senar biru muda. Ia mencuri pandang pemuda disebelahnya yang kini berkoar meminta senar hitam dan merah marun dibungkuskan untuknya.
Secepat kilat dia mencari-cari jejak teman hobi potretnya tadi. Matanya menyapu seluruh ruangan berharap menemukan sosok gadis berbaju kuning cerah. Enyah. Tiba-tiba Nara tidak ada dalam toko itu. Dia pasti memutuskan menunggu diluar tanpa memanggil terlebih dahulu. Gawat. Yang ada dipikiran Ninri sekarang adalah efek menanggung malu karena tidak jadi membeli kemudian pergi atau efek menanggung dobel bahkan tripel malu dengan meminjam uang dari musuh. Pikiran ini yang membuat Ninri berkeringat dingin.
Kenapa disaat yang seperti ini. Aigo. Memalukan jika aku meminjam uang darinya….Aish Jinjjaa!!

“Maaf, barangnya jadi dibeli atau tidak?” Pertanyaan meluncur dari si penjual kemudian ia menyodorkan bungkusan kecil kearahnya. Membuyarkan pergolakan pikiran Ninri. Matanya melirik kearah Junjin yang sedang asik memutar-mutar benda kecil ditangan kanannya. Entah apa itu sepertinya tak asing bagi Ninri dalam kesehariannya menyangkut musik.
“A..emm itu…” memutar bola matanya.
Sebelum membatalkan niatnya untuk membeli dengan rasa salting luar biasa, terdengar suara berisik dari sisinya. Mengeluarkan sesuatu lebih cepat dari penglihatannya. Si penjual cukup mengangguk dengan mata berbinar.
“Sekalian sama yang biru muda” Junjin meletakkan sekumpulan uang tepat didepan mata Ninri yang kini hanya bisa bengong melihat pemuda yang membuatnya salah tingkah. Yang dilakukan Junjin seperti Spy yang tiba-tiba tau jika Ninri kekurangan uang.
Snap!. Secepat kilat Nara menangkap adegan ke-bengongan teman belanjanya dan ke-innocent-an Junjin. Nara terkekeh. Berlari-lari kecil menghampiri temannya.
“Dari mana saja?” Ninri berusaha menghilangkan rasa saltingnya.
“Hehe, coklat apel ini sangat menggodaku. Uang jajan untuk besok terpaksa berkurang” Menyodorkan satu tusuk coklat apel yang sudah hampir habis karena gigitan kearah Ninri.
Kelopak mata Ninri berkedip-kedip. Ada isyarat yang ingin diucapkan. Semakin cepat dia berkedip semakin Nara bingung memaknainya. Sekilas matanya bergerak-gerak dan melotot kearah pemuda yang sibuk menanti kembalian uangnya.
“Ah? Aigo…Junjiin!” Akhirnya Nara paham maksud winking tak jelas Ninri.
“Sssttt….” Telunjukknya membungkam mulutnya sendiri. Kemudian dia berdeham memulai percakapan dengan Junjin, “Aku tidak ingin ada hutang” ketusnya.
“Aku juga tidak ingin ada pencurian ditoko ini” ketus Junjin balik.
“Hah, maksudmu? Maksudmu kau menuduhku sebagai pencuri. Aku bahkan bisa membeli seluruh toko ini”
Mimik Junjin masih calm down. Senyuman mengejek terkulum disudut bibirnya, yang membuat Ninri makin terlihat  bodoh. Mengetuk-ngetuk etalase toko dengan nyamannya. Meraup uang kembalian sekaligus barang belanjaannya lalu memasukkannya dalam kantong kecil disamping mantelnya. Berdeham sejenak kemudian memberi salam pada si penjual toko itu dengan ramah. Masih tak bernafsu membalas serangkaian kata Ninri. Junjin hanya terhenyak sedetik didepan gadis itu, mengambil nafas dalam-dalam, dengan satu gerakan kecil ia mengibaskan kera mantelnya lantas pergi berlalu. Terdengar suara huwoo-an dari Nara.
“Aishh…gerakan apa itu tadi? Mengejek? Menantang? Dipikirnya ini catwalk apa, tapi ya sudahlah setidaknya masalahku teratasi” kritikan Ninri pedas tapi terselip semburat rasa salah tingkahnya sekilas. 
“Seandainya ada Sora. Hal ini akan beruntut panjang” Timpal Nara yang masih menerawang jauh Junjin yang sudah lenyap begitu saja.
*****
Festival bertema penyambutan native baru ‘Welcome to Ocean Art’ dimulai. Kali ini adalah harinya kelas musik, vokal, dan tari untuk mengisi acara sedangkan settingan panggung dan kostum dipegang oleh kelas desain. Penampilan pertama dari kelas musik bergabung dengan kelas vokal. Ramai sorakan dari penonton yang tak ikut sumbang suara atau menunggu giliran tampil. Ninri bersama teman bandnya tampil pertama. Ninri menyuguhkan segala kemampuannya sebagai satu-satunya gitaris wanita dikelas musik ditambah dengan senar biru muda barunya yang berbeda dari yang lain membuat rasa percaya dirinya naik dilevel teratas. Lagu berunsurkan ceria sudah menjadi ciri khas. Kelas musik dan vokal mendadak sangat seru karena diperkenankan untuk membawakan 5 lagu sekaligus.
Suasana riang dan gembira mendobrak aula sekolah. Sederetan kursi yang tadinya kosong untuk native dan para guru termasuk kepala sekolah beserta jajarannya sudah penuh dan terlihat sangat menikmati alunan lagu karya Ocean Art.
“Choi Ninri FIGHTING!!!~~~Music class BANZAI!!!” Dukungan para Venus dari sudut ruangan seakan membangkitkan semangat Ninri dari jauh. Semua bergoyang, ikut bernyanyi dan hal yang wajib adalah foto.
Penampilan pertama selesai dengan respon yang bagus dari penontonnya sebagai opening. Venus kembali keposisinya masing-masing bersiap untuk penampilan Sora dari kelas tari selebihnya masih asik duduk-duduk diujung aula. Menunggu teman segengnya unjuk gigi.
Kemudian dilanjutkan oleh sambutan hangat dari host dan sambutan resmi kepala sekolah. Hening dan kondisi khidmat terasa. Para native juga ikut sumbang suara untuk perkenalan. Acara masih berlanjut dengan menyenangkan. Makin siang makin meriah. Semangat masih berkobar dan makin memanas saat panampilan band Junjin tampil bersama satu rapper dari kelas kontemporer.
Selalu saja, pilihan Junjin jatuh pada Eric sebagai Rappernya. Kenapa tidak yang lain, kenapa tidak beatbox? Sepertinya sudah menjadi maskot kelas kontemporer. Mau tidak mau Venus hanya mengerang saat mereka tampil, menurunkan nada sorakan dari 10 oktaf menjadi 5 oktaf demi menghormati dan menggambarkan bahwa Ocean Art sangatlah kompak. Actually that’s really fake.
Akting Junjin sangatlah berlebihan menurut Venus. Perlu diwaspadahi kepopuleran mereka melonjak seketika ketika para Shinhwa sudah memegang alat musik dan mic. Kedua pemuda itu memakai kacamata hitam, memainkan gitarnya secara dominan yang satu memegang erat micnya dengan enerjik. Penggunaan kostum sentuhan made in Minwoo terpampang jelas diatas panggung. Kasual. Rambut acak-acakan Eric, gerakan poni Junjin sukses menuai teriakan paling membahana dari gadis-gadis.
“Junjin dan Eric adalah malpraktik dari produk Minwoo. Dasar Shinhwa selalu eksklusif” Ji Eun menggeleng lemas melihat dari sisi panggung sembari menggotong kostum anak tari yang akan tampil dipenutupan.
“Seharusnya kau dan Minwoo harus bersaing. Kan sama-sama desainer” Sora menepuk pundak temannya dengan santai.
“Sora-ya! Ji Eun-a!” Panggil Ninri dari arah belakang. Seceria penampilannya, ia menampakkan wajah lega setelah penampilan pertama tadi. Sora dan Ji Eun mengucapkan selamat kepada Ninri kemudian melanjutkan forum menghujat Shinhwa dibalik panggung.
2 menit sebelum permainan band Junjin berakhir. Aksi Junjin memukau. Dilemparnya sebuah Pic gitar kearah penonton. Menghambur, melompat, berteriak saling sikut para murid perempuan demi menangkap Pic yang melayang itu. Senyum puas Junjin tercurah. Eric memeluk Junjin dengan hangat. Tapi sayang sepertinya dari berpuluh-puluh wanita yang saling adu kekerasan tadi tak satupun yang memenangkan benda mungil itu.
“Huwooo….” 3 gadis dari balik panggung spontan terpukau.
*****
Welcome to Ocean Art berakhir dengan penutupan paling heboh dan keren dari kelas tari. Dance modern disuguhkan. Semua ikut menari, Sora yang paling semangat. Para murid laki-laki menghuru-hara. Hari yang menyenangkan bagi Ocean Art. Hari yang melelahkan juga bagi tim kepanitiaan yang harus membangun konsep dan sekarang saatnya untuk membereskan semuanya. Tradisinya, saat event berakhir demi menjaga kesolidan, semua artis yang mengisi acara juga turut membantu merapikan TKP sebagai ucapan terima kasih atas keberhasilan.
“Ayo semangat membersihkan segalanya” nada Ninri melemah. Diangkatnya sapu yang ia pegang tinggi-tinggi. Ia melihat teman-teman yang lain sudah kelelahan. Kebanyakan sudah terkapar tak berdaya dibawah panggung termasuk Ji Eun dan Sora yang tampak mengamati isi kamera Nara. Nara masih bertahan dengan urusan dokumentasi lipat melipat tripod dikejauhan.
Sepertinya tinggal mereka berempat yang sengaja berlama-lama diaula. Seluruhnya sudah menyelesaikan tanggung jawabnya. Gadis lemah tadi kembali bergelut dengan sapunya. Dimasukkan kedalam sebuah kolong kemudian tersangkut. Jdaak…jdaak. Kepalanya tertunduk, mengintip apa yang membuat sapu itu tak bisa keluar. Ada sesuatu disana, benda kecil kekuningan. Ada yang janggal. Aku pernah melihat benda ini sebelumnya tapi dimana? Penasaran.
Tangannya masuk sekalian kekolong, mengambil benda itu. Mungil dan keras. Wajahnya mengamati dengan serius. Terukir dua suku kata dipermukaan benda itu, ‘JJ’.
“Pic?”
*****
“Sepertinya aku lupa mengucapkan terima kasih atas pinjaman uangnya dan satu hal…” Cerita Ninri mulai berujung pada benang merah, “Aku menyimpan benda ini sampai sekarang…” mengeluarkan kotak kecil dari tas jinjingnya, “Benda yang kutemukan waktu festival dan benda itu tak sengaja masuk jepretan Nara sebelum festival. Kebetulankah?”
Digenggaman Ninri sekarang ada kotak bercorak animal print leopard. Kotak yang berisi benda koleksi pribadinya. Tersusun Pic gitar berbagai bentuk dan warna. Banyak sekali.
“Ahh…aigoo. Salah satunya yang kuning itu milik Junjin? Hahaha unik sekali. Benar-benar sial ya para gadis yang tak berhasil menangkap waktu itu” komentar Ji Eun meluncur pertama.
“Ajaibnya, kau tak pernah tau itu miliknya? Dan baru tau saat ini? Disaat kita sudah menjadi wanita-wanita dewasa? Ooo…jangan-jangan kau dan Junjin aaaa….” Goda Paran malu-malu.
“Memang seharusnya begitu bukan” Senyum tipis tergambar pada paras Ninri. Jari-jarinya menelusuri ukiran, mengikuti setiap lekukan segitiga yang masih kokoh. Semua kenangan melompat-lompat dibenaknya.Tertera dengan tegas singkatan ‘JJ’ untuk Junjin. Apa yang membuatnya menyimpan benda itu selama ini? Jawabannya, cukup waktu dan kenyataan yang akan menguak dengan sendirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar