“Aku memilihmu, wahai
engkau si baju kuning sebersinar mentari, seceria pagi menyambut jagat raya.
Choi Ninri!!”
Matanya menyipit,
mulutnya terbuka ceria berakting manis manis. Diraupnya satu foto—
“Here we go----”
*****
Seketika mulut Ninri membentuk
huruf O kecil sembari berteriak “Astaga…inikan” dipandanginya foto yang ia
ambil lekat-lekat. Matanya bersinar, ada sesuatu yang membuka rahasia yang
pernah ia temukan.
“Ce-rita! Ce-rita!” Semua tangan
bertepuk-tepuk. Sorakkan demi sorakan datang dari teman-temannya yang duduk
melingkar dengan ekspresi penasaran.
Foto itu benar-benar menggelikan.
Diambil Nara dalam sebuah toko peralatan musik. Tampak angle dari belakang saat itu. Dikelilingi oleh pajangan dinding
berbagai model gitar dan beragam warna-warni senar, dihadapkan pada sosok penjaga
toko dengan kumis kecil, tampang cerah menatap mesin kasir. Junjin memandangi
Ninri dengan dingin, tangan kanan menjulurkan sejumlah uang dengan tampang
angkuh seakan enggan untuk memberikan uangnya. Ninri dengan ekspresi ‘mong-nya’
menoleh kaget setengah kagum.
Tapi, bukan itu yang menjadi fokus Ninri dalam
foto itu namun apa yang dipegang Junjin ditangan kirinya. Iya, ditangan
kirinya, benda kecil meragukan. Benda kecil yang tak sengaja tersimpan.
*****
“Aku bingung, aku ingin warna
senar yang terlihat lucu, tidak hanya itu-itu saja tapi warna apa ya enaknya,
yang pantas untukku…” Galau gadis lugu itu, “….aku ingin tampil lebih berwarna”
Lanjutnya.
“Imagemu ceria tapi disisi lain kadang aku melihat dirimu berwujud seperti Lady Rocker hmm….bagaimana kalau merah
atau biru muda yang segar-segar dan tampak kontras dimata” Nara mencoba memberi
saran.
Si yang disebut-sebut Lady rocker
ini manggut-manggut tanpa henti, menggoyangkan seluruh tatanan rambut kuncir
kudanya. Nara hanya berusaha mengerti keadaan temannya yang bingung. Masih tak
lepas dari jeratan kamera yang selalu dibawa kemana-mana. Mereka hanya berjalan
berputar-putar selama satu setengah jam mengelilingi kompleks pertokoan alat
musik dan belum ada yang cocok untuk dinaungi bahkan hanya sekedar masuk atau
bertanya-tanya.
Karena lelah mereka memutuskan
untuk sekedar duduk di bangku pinggir jalan sambil meneguk sekaleng jus anggur
dingin dari mesin minuman terdekat. Dua orang seperti terlantar ditengah
kompleks pertokoan. Menengok kekanan dan kekiri. Kala itu malam, sekitar pukul
delapan lebih. Tengah kota tampak ramai, aroma buah, spicy milik daging asap yang dipanggang dan roti manis semerbak
bertebaran dijalanan tertib. Padahal jalan tertib yang artinya tidak boleh ada
hambatan dijalan itu tapi aroma jajanan pinggir jalan masih menggelitik hidung
keduanya. Kadang peraturan memang untuk dilanggar sekali-kali.
“Ninri-ya, sampai kapan kita
hanya berkeliling – keliling begini. Sementara disekitar kita banyak jajanan
yang menggoda” Tatapan lensa Nara mengarah pada gerobak bertuliskan ‘Sweet
Apple’. Satu jepretan khusus untuk satu tusuk apel merah berlilitkan coklat
mengkilat yang digenggam oleh pemuda memakai mantel coklat pula, “Ah lezatnya..hanya
bisa memotret saja”.
“Kenapa tidak beli?”
“Hehe, tak ada jatah jajan dihari
Senin. Mahagalaunya anak SMA”
Ninri hening saat itu, tak
menggubris keluhan Nara. Bukan karena tak ingin membelikan, melainkan penasaran
pada sebuah toko tepat dihadapannya.
Toko kecil bernuansa klasik. Terpampang gantungan-gantungan aksesoris dan
beberapa perabotan musik yang menarik perhatiannya.
“Ayo, masuk kesitu” tunjuknya.
“Hmm…boleh”
*****
“Yakin memilih warna-warna itu?” Lirikan mata
Nara seakan tak puas pada pilihan sobat galaunya.
“Ehm..entahlah” Memilin-milin
senar yang terjajar rapi didepannya. Hitam, Merah marun, Emas dan Biru muda.
“Aku tinggal hunting ya, ada
biola lucu disebrang sana” Nara berlari kecil meninggalkan Ninri yang sibuk
menimbang. Tak lama dari jauh sudah terdengar snaping-an kamera Nara. Gadis
yang kini sendirian hanya menghembuskan nafas panjang.
Aneh kah jika warna senarku tampak mencolok sendiri sedangkan anggota
lain berwarna normal? Tapi ini penyambutan yang meriah bukan? Iya, aku harus
berani beda…tapi
“Biru muda” suara yang tak asing
menyambar telinga Ninri.
Ninri menoleh perlahan,
dilihatnya pemuda tinggi itu, tepat disampingnya. Wajahnya santai dibalut
mantel coklat yang menjuntai. Junjin. Produk ciptaan Shinhwa yang lain. Dunia
ini dipenuhi orang-orang ini. Ekspresi Ninri seketika hambar.
Bagaimana bisa dia tiba tiba muncul ditempat seperti ini. Mengerikan. Ia bertanya-tanya dalam
hati.
“Aku memang memilih ini sejak
tadi” berusaha berkilah tanpa menatap mata bulat Junjin lebih lama.
“Ya sudah, bayar kalau begitu”
celetuknya dengan gaya paling arogan.
“Issh, menyebalkan. Selalu saja
dipertemukan oleh orang-orang sepertimu. Tidak disekolah ataupun ditempat
seperti ini sekalipun”, cibir Ninri kesal, “Pak tolong bungkus yang biru muda”.
Kekesalan Ninri membuahkan
kesialan. Dompetnya tampak berbobot waktu dimasukkan dalam tas selempangnya.
Dia masih ingat betul ada lima lembar uang yang dimasukkan dalam dompet
abu-abunya hanya saja dia setengah ingat saat ditanya oleh otaknya sendiri
berapa total nominal yang dia punya. Wajah Ninri mulai memucat karena uang yang
dikeluarkannya tidak cukup untuk membeli senar biru muda. Ia mencuri pandang
pemuda disebelahnya yang kini berkoar meminta senar hitam dan merah marun
dibungkuskan untuknya.
Secepat kilat dia mencari-cari
jejak teman hobi potretnya tadi. Matanya menyapu seluruh ruangan berharap
menemukan sosok gadis berbaju kuning cerah. Enyah. Tiba-tiba Nara tidak ada
dalam toko itu. Dia pasti memutuskan menunggu diluar tanpa memanggil terlebih
dahulu. Gawat. Yang ada dipikiran Ninri sekarang adalah efek menanggung malu
karena tidak jadi membeli kemudian pergi atau efek menanggung dobel bahkan
tripel malu dengan meminjam uang dari musuh. Pikiran ini yang membuat Ninri
berkeringat dingin.
Kenapa disaat yang seperti ini. Aigo. Memalukan jika aku meminjam uang
darinya….Aish Jinjjaa!!
“Maaf, barangnya jadi dibeli atau
tidak?” Pertanyaan meluncur dari si penjual kemudian ia menyodorkan bungkusan
kecil kearahnya. Membuyarkan pergolakan pikiran Ninri. Matanya melirik kearah
Junjin yang sedang asik memutar-mutar benda kecil ditangan kanannya. Entah apa
itu sepertinya tak asing bagi Ninri dalam kesehariannya menyangkut musik.
“A..emm itu…” memutar bola
matanya.
Sebelum membatalkan niatnya untuk
membeli dengan rasa salting luar biasa, terdengar suara berisik dari sisinya.
Mengeluarkan sesuatu lebih cepat dari penglihatannya. Si penjual cukup
mengangguk dengan mata berbinar.
“Sekalian sama yang biru muda”
Junjin meletakkan sekumpulan uang tepat didepan mata Ninri yang kini hanya bisa
bengong melihat pemuda yang membuatnya salah tingkah. Yang dilakukan Junjin
seperti Spy yang tiba-tiba tau jika Ninri kekurangan uang.
Snap!. Secepat kilat Nara
menangkap adegan ke-bengongan teman belanjanya dan ke-innocent-an Junjin. Nara terkekeh. Berlari-lari kecil menghampiri temannya.
“Dari mana saja?” Ninri berusaha
menghilangkan rasa saltingnya.
“Hehe, coklat apel ini sangat
menggodaku. Uang jajan untuk besok terpaksa berkurang” Menyodorkan satu tusuk
coklat apel yang sudah hampir habis karena gigitan kearah Ninri.
Kelopak mata Ninri
berkedip-kedip. Ada isyarat yang ingin diucapkan. Semakin cepat dia berkedip
semakin Nara bingung memaknainya. Sekilas matanya bergerak-gerak dan melotot kearah
pemuda yang sibuk menanti kembalian uangnya.
“Ah? Aigo…Junjiin!” Akhirnya Nara
paham maksud winking tak jelas Ninri.
“Sssttt….” Telunjukknya
membungkam mulutnya sendiri. Kemudian dia berdeham memulai percakapan dengan
Junjin, “Aku tidak ingin ada hutang” ketusnya.
“Aku juga tidak ingin ada
pencurian ditoko ini” ketus Junjin balik.
“Hah, maksudmu? Maksudmu kau
menuduhku sebagai pencuri. Aku bahkan bisa membeli seluruh toko ini”
Mimik Junjin masih calm down. Senyuman mengejek terkulum
disudut bibirnya, yang membuat Ninri makin terlihat bodoh. Mengetuk-ngetuk etalase toko dengan
nyamannya. Meraup uang kembalian sekaligus barang belanjaannya lalu
memasukkannya dalam kantong kecil disamping mantelnya. Berdeham sejenak
kemudian memberi salam pada si penjual toko itu dengan ramah. Masih tak
bernafsu membalas serangkaian kata Ninri. Junjin hanya terhenyak sedetik
didepan gadis itu, mengambil nafas dalam-dalam, dengan satu gerakan kecil ia
mengibaskan kera mantelnya lantas pergi berlalu. Terdengar suara huwoo-an dari
Nara.
“Aishh…gerakan apa itu tadi?
Mengejek? Menantang? Dipikirnya ini catwalk
apa, tapi ya sudahlah setidaknya masalahku teratasi” kritikan Ninri pedas tapi
terselip semburat rasa salah tingkahnya sekilas.
“Seandainya ada Sora. Hal ini
akan beruntut panjang” Timpal Nara yang masih menerawang jauh Junjin yang sudah
lenyap begitu saja.
*****
Festival bertema penyambutan
native baru ‘Welcome to Ocean Art’
dimulai. Kali ini adalah harinya kelas musik, vokal, dan tari untuk
mengisi
acara sedangkan settingan panggung dan kostum dipegang oleh kelas
desain. Penampilan
pertama dari kelas musik bergabung dengan kelas vokal. Ramai sorakan
dari
penonton yang tak ikut sumbang suara atau menunggu giliran tampil. Ninri
bersama teman bandnya tampil pertama. Ninri menyuguhkan segala
kemampuannya
sebagai satu-satunya gitaris wanita dikelas musik ditambah dengan senar
biru
muda barunya yang berbeda dari yang lain membuat rasa percaya dirinya
naik
dilevel teratas. Lagu berunsurkan ceria sudah menjadi ciri khas. Kelas
musik dan vokal mendadak sangat seru karena diperkenankan untuk
membawakan 5 lagu
sekaligus.
Suasana riang dan gembira
mendobrak aula sekolah. Sederetan kursi yang tadinya kosong untuk native dan
para guru termasuk kepala sekolah beserta jajarannya sudah penuh dan terlihat
sangat menikmati alunan lagu karya Ocean Art.
“Choi Ninri FIGHTING!!!~~~Music
class BANZAI!!!” Dukungan para Venus dari sudut ruangan seakan membangkitkan
semangat Ninri dari jauh. Semua bergoyang, ikut bernyanyi dan hal yang wajib
adalah foto.
Penampilan pertama selesai dengan
respon yang bagus dari penontonnya sebagai opening. Venus kembali keposisinya
masing-masing bersiap untuk penampilan Sora dari kelas tari selebihnya masih
asik duduk-duduk diujung aula. Menunggu teman segengnya unjuk gigi.
Kemudian dilanjutkan oleh
sambutan hangat dari host dan sambutan resmi kepala sekolah. Hening dan kondisi
khidmat terasa. Para native juga ikut sumbang suara untuk perkenalan. Acara
masih berlanjut dengan menyenangkan. Makin siang makin meriah. Semangat masih
berkobar dan makin memanas saat panampilan band Junjin tampil bersama satu
rapper dari kelas kontemporer.
Selalu saja, pilihan Junjin jatuh
pada Eric sebagai Rappernya. Kenapa tidak yang lain, kenapa tidak beatbox?
Sepertinya sudah menjadi maskot kelas kontemporer. Mau tidak mau Venus hanya
mengerang saat mereka tampil, menurunkan nada sorakan dari 10 oktaf menjadi 5
oktaf demi menghormati dan menggambarkan bahwa Ocean Art sangatlah kompak.
Actually that’s really fake.
Akting Junjin sangatlah
berlebihan menurut Venus. Perlu diwaspadahi kepopuleran mereka melonjak
seketika ketika para Shinhwa sudah memegang alat musik dan mic. Kedua pemuda
itu memakai kacamata hitam, memainkan gitarnya secara dominan yang satu
memegang erat micnya dengan enerjik. Penggunaan kostum sentuhan made in Minwoo terpampang jelas diatas
panggung. Kasual. Rambut acak-acakan Eric, gerakan poni Junjin sukses menuai
teriakan paling membahana dari gadis-gadis.
“Junjin dan Eric adalah
malpraktik dari produk Minwoo. Dasar Shinhwa selalu eksklusif” Ji Eun
menggeleng lemas melihat dari sisi panggung sembari menggotong kostum anak tari
yang akan tampil dipenutupan.
“Seharusnya kau dan Minwoo harus
bersaing. Kan sama-sama desainer” Sora menepuk pundak temannya dengan santai.
“Sora-ya! Ji Eun-a!” Panggil
Ninri dari arah belakang. Seceria penampilannya, ia menampakkan wajah lega
setelah penampilan pertama tadi. Sora dan Ji Eun mengucapkan selamat kepada
Ninri kemudian melanjutkan forum menghujat Shinhwa dibalik panggung.
2 menit sebelum permainan band
Junjin berakhir. Aksi Junjin memukau. Dilemparnya sebuah Pic gitar kearah
penonton. Menghambur, melompat, berteriak saling sikut para murid perempuan
demi menangkap Pic yang melayang itu. Senyum puas Junjin tercurah. Eric
memeluk Junjin dengan hangat. Tapi sayang sepertinya dari berpuluh-puluh wanita
yang saling adu kekerasan tadi tak satupun yang memenangkan benda mungil itu.
“Huwooo….” 3 gadis dari balik
panggung spontan terpukau.
*****
Welcome to Ocean Art berakhir
dengan penutupan paling heboh dan keren dari kelas tari. Dance modern disuguhkan. Semua ikut menari, Sora yang paling
semangat. Para murid laki-laki menghuru-hara. Hari yang menyenangkan bagi Ocean
Art. Hari yang melelahkan juga bagi tim kepanitiaan yang harus membangun konsep
dan sekarang saatnya untuk membereskan semuanya. Tradisinya, saat event
berakhir demi menjaga kesolidan, semua artis yang mengisi acara juga turut
membantu merapikan TKP sebagai ucapan terima kasih atas keberhasilan.
“Ayo semangat membersihkan
segalanya” nada Ninri melemah. Diangkatnya sapu yang ia pegang tinggi-tinggi.
Ia melihat teman-teman yang lain sudah kelelahan. Kebanyakan sudah terkapar tak
berdaya dibawah panggung termasuk Ji Eun dan Sora yang tampak mengamati isi
kamera Nara. Nara masih bertahan dengan urusan dokumentasi lipat melipat tripod
dikejauhan.
Sepertinya tinggal mereka
berempat yang sengaja berlama-lama diaula. Seluruhnya sudah menyelesaikan
tanggung jawabnya. Gadis lemah tadi kembali bergelut dengan sapunya. Dimasukkan
kedalam sebuah kolong kemudian tersangkut. Jdaak…jdaak. Kepalanya tertunduk,
mengintip apa yang membuat sapu itu tak bisa keluar. Ada sesuatu disana, benda
kecil kekuningan. Ada yang janggal. Aku
pernah melihat benda ini sebelumnya tapi dimana? Penasaran.
Tangannya masuk sekalian
kekolong, mengambil benda itu. Mungil dan keras. Wajahnya mengamati dengan
serius. Terukir dua suku kata dipermukaan benda itu, ‘JJ’.
“Pic?”
*****
“Sepertinya aku lupa mengucapkan
terima kasih atas pinjaman uangnya dan satu hal…” Cerita Ninri mulai berujung
pada benang merah, “Aku
menyimpan benda ini sampai sekarang…” mengeluarkan kotak kecil dari tas
jinjingnya, “Benda yang kutemukan waktu festival dan benda itu tak sengaja
masuk jepretan Nara sebelum festival. Kebetulankah?”
Digenggaman Ninri sekarang ada
kotak bercorak animal print leopard. Kotak yang berisi benda koleksi
pribadinya. Tersusun Pic gitar berbagai bentuk dan warna. Banyak sekali.
“Ahh…aigoo. Salah satunya yang
kuning itu milik Junjin? Hahaha unik sekali. Benar-benar sial ya para
gadis yang tak berhasil menangkap waktu itu” komentar Ji Eun meluncur
pertama.
“Ajaibnya, kau tak pernah tau itu
miliknya? Dan baru tau saat ini? Disaat kita sudah menjadi wanita-wanita
dewasa? Ooo…jangan-jangan kau dan Junjin aaaa….” Goda Paran malu-malu.
“Memang seharusnya begitu bukan”
Senyum tipis tergambar pada paras Ninri. Jari-jarinya menelusuri ukiran,
mengikuti setiap lekukan segitiga yang masih kokoh. Semua kenangan melompat-lompat dibenaknya.Tertera dengan tegas
singkatan ‘JJ’ untuk Junjin. Apa yang membuatnya menyimpan benda itu selama
ini? Jawabannya, cukup waktu dan kenyataan yang akan menguak dengan sendirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar