Rabu, 24 Juli 2013

This Man (Part 1)



Kaki tanganku mulai kesemutan. 2 jam sudah menunggu dan menganggur  di Bandara Internasional Korea ini. Tas ranselku kini bergolek lemah di kursi besi sebelah. Aku menyesal sudah merencanakan ide gila ini. Berangkat dari Indonesia ke Korea hanya untuk sekedar memboyong kamera dan menuai foto-foto eksotis 12 pria tampan asuhan SM Entertainment. Sebut saja EXO. Membayangkan mereka saja sudah membuatku ngilu. Berbekal sisihan uang jajan bulanan yang kuhitung-hitung bulannya sudah melebihi jumlah jari tanganku, aku berangkat dengan bangga ke Korea. Padahal setelah beberapa jam disini aku akan terbang lagi pulang. Miris.
Menurut info yang kudapat, mereka ber-12 akan terbang ke Russia tepat pukul 1 siang, tapi sampai sekarang batang hidung mancung mereka pun tak jua muncul. Jarum pendek jam tanganku sudah menunjuk angka 1.30. Membuatku resah, jangan-jangan infonya salah. Bagaimana kalau salah? Kuteguhkan hati lagi, berusaha membuang semua kemungkinan buruk.
Sudahlah lebih baik tunggu saja. Hatiku menenangkan. 5 menit, 10 menit, sampai  30 menit mereka tidak juga nampak. Ketukan kakiku semakin lambat ketika mataku tiba-tiba menangkap sosok pria tinggi lengkap dengan kacamata hitamnya. Boarding dress-nya mencolok. Kemejanya yang putih bersih seperti tak mau kalah dengan wajah tampan bak porselen itu. Kris. Tangannya menenteng tas hitam bermerk. Sedangkan tangan satunya menggenggam erat ponsel. Segera kubidik pose-pose elegannya dengan lensa kameraku yang terbatas. Bagai arak-arakan Orion, member yang lain pun mengikuti di belakang Kris. Mungkin karena jam keberangkatan mereka mundur 100% para paparazzi tak tampak meskipun satu. Tak menyia-nyiakan kesempatan emas didepan mata, telunjukku yang mulai terampil berulang kali menekan tombol shutter. Dimulai dari tingkah konyol Chanyeol sampai pose cute Luhan, semua tak luput dari bidikanku. Tapi ada yang mengganjal, bibirku berdesis menghitung. Kris, Lay, Baekhyun, Tao, Suho, Chen, Xiumin, Luhan, Sehun, Chanyeol, ahh . . dimanakah gerangan my dark skin? Juga little DO? Aku celingukan mencari mereka berdua.
Akh . . kini bidikan mataku yang menemukan dua sosok yang kupuja. Masih dengan baju ala couple yang selalu tampak padan. Hari ini Hoodie melekat santai di tubuh mereka berdua. Kai dengan Hoodie merah dengan benang simpul tertaut di bagian kiri dan kanan. Sedangkan Do tampak semakin bersinar dengan Hoodie kuning cerahnya. Snap! Snap! Snap! Jari telunjukku bergerak sendiri tanpa diperintah. Tahu saja kalau objek tampan didepannya sudah menunggu. Do yang menyadari keberadaanku langsung berpose. Pose polos dan lugu seperti biasa. Tangannya menyikut rusuk Kai, menyuruhnya berpose juga. Kai dengan canggung membentuk tanda peace lewat tangannya, tapi lama-lama dia mulai bertingkah. Jarak kita semakin dekat, jantungku semacam mencelos ketika Kai dengan sengaja mengedipkan mata padaku dengan congkaknya. Akh, damn!This man is really arrogant. Suhu Korea tiba-tiba memanas. Kulihat mereka berjalan lamat-lamat. Mataku masih mengekor, tapi entah kenapa Kai berkali-kali menatapku. Aku menoleh kebelakang dengan gugup, mungkin orang lain. Pandangannya merekam, lurus, penuh, dan fokus. Aku menelan ludah, ada apa dengan mata itu? Mengarah padaku. Lagi dan lagi.
Aku berjalan gontai. Misi terpenting dan terkhusus dalam hidupku sudah dilaksanakan. Pesawatku berangkat pukul 6 tepat, masih 3 jam lagi. Bagaimana kalau berjalan-jalan sebentar, sepertinya ide brillian. Kalau untuk sekedar hunting foto waktuku lebih dari sekedar cukup. Mataku berpendar mencari kotak minuman kaleng. Rasanya tenggorokanku sedang musim kemarau. Didinginkan dengan pria tampan pun tidak akan mempan. Lemari pendingin yang kucari berdiri kaku di sudut tempat parkir. Aku bergegas menghampiri kotak penyelamatku itu. Kurogoh uang recehku kemudian kumasukkan di tempatnya, terdengar bunyi kaleng minuman yang jatuh. Senyumku melebar, minuman dingin sudah ditangan. Aku menengadahkan kepala, kuminum jus rasa jeruk itu dengan liar. Aku tersentak kaget ketika ada tangan besar menepuk pelan pundakku. Minuman dimulutku juga ikut kaget, memalukan.
Are you Korean?” pria paruh baya berdiri santai dibelakangku. Menanyaiku dengan lancang. Tapi tak urung kujawab juga pertanyaannya, walaupun dengan bahasa inggris-ku yang bisa dibilang minim.  
No, you know me?” suaraku terbata-bata. Jari telunjukku menunjuk diri sendiri. Apakah ada kesalahan? Perasaan aku tidak melakukan apa-apa. Tuhan. Desisku dalam hati.
No” pria itu menggeleng, membuatku semakin bingung. Matanya kemudian tersenyum, “Will you come with me?” Tanyanya lagi. Mataku membulat sempurna, kakiku pun refleks mundur menjauh. Pertanyaan macam apa itu, aku sama sekali tidak mengenal pria ini. Kenapa tiba-tiba memintaku ikut dengannya. Yang benar saja, apa ini modus penculikan. Berbagai argument mulai berloncatan dikepalaku.
Aku refleks menggeleng, kulihat dia tertawa keras,”You don’t know me? How can.” Sahutnya kemudian. Cih! sombong sekali memangnya dia siapa. Aku merengut. “Of course I don’t know you, please tell me now who you are?” sungutku kesal. “My plane was leaving at 6. I have to go now.” Aku menjelaskan lagi. Tidak ingin berlama-lama dengan omong kosongnya. Ya, hanya itu. “you shouldn’t go, there is someone who wants to meet you” dia memohon. Wajahnya berubah serius.
Aku mencoba mengingat-ingat wajahnya. Tampak familier, tapi dimana aku pernah bertemu dengannya. “You have to believe me, I’m not a bad person” Tambahnya lagi, semakin membuatku dilemma. Melihat sikapnya aku berpikir dua kali. Memangnya siapa yang ingin bertemu denganku. Ini pertama kalinya aku ke Korea.  Antara penasaran dan takut, aku masih diam tak memberinya jawaban. “You will not regret it, he really wants to meet you” sepertinya dia serius, dari tampangnya juga seperti orang baik-baik. Entah kenapa hatiku menjawab YA. Akhirnya aku putuskan untuk ikut dengannya, masalah siapa itu urusan nanti. “Okay I will go with you but what about the plane”. tanganku menunjuk ke arah bandara. Senyumnya melebar, tampak  deretan giginya yang putih. “it doesn’t matter, I'll set it up later” Aku mengangguk paham. Tangannya merangkulku menuju sebuah van yang terparkir tak jauh dari tempat kami berdiri. Setelah aku masuk van mulai berjalan, tapi mataku menangkap pemandangan yang sedikit janggal. Van ini didominasi warna hitam, simbol segienam yang kukenal ada dimana-mana. Apa pemilik van ini adalah penggemar EXO? tanyaku ragu. Tapi segera kutepis, bagaimana mungkin seorang bapak-bapak menggemari boyband. Aku tertawa sendiri, tak sanggup membayangkannya. Kuhentikan pikiran liarku yang penasaran, kutajamkan telingaku pria didepan kemudi sedang bernyanyi-nyanyi kecil. Lagu yang sangat kukenal. Part of Peterpan song.
Aku mulai terbuai dengan nyanyiannya. Mataku menutup sedikit demi sedikit dan akhirnya lelap sempurna. Baru tersadar ketika akhirnya sampai di depan sebuah bangunan real estate yang tinggi menjulang. Pria yang masih belum juga kukenal itu mengintruksiku untuk mengikutinya. Kakinya melangkah panjang-panjang, kami berdua masuk kedalam lift dan tangannya menjulur kedepan menekan tombol up. Tak berhenti juga sampai kita menginjak Lantai 5. Ting! Akhirnya sangat bersyukur bisa segera keluar dari benda pengap ini. Aku masih mengikutinya penasaran, belum cukup untuk menebak alur selanjutnya. Sebelum aku sempat berpikir lagi, dia berhenti tepat didepan kamar nomor 243. Tangannya menekan angka password dan 2 detik kemudian pintu sudah terbuka lebar.
Tangannya mendorongku masuk. Sebuah apartement 2 kamar yang lengkap dengan pernak-perniknya. Warna-warna klasik lebih mendominasi. Perabotan yang tertata rapi, minimalis tapi sempurna dan akurat. Kekaguman mulai melandaku. Sebelum aku lupa diri, aku tersadar kemudian menodong pria yang kini sudah duduk santai di sofa dengan beribu pertanyaan.
Wait mister, What does all this mean? Brought me here and . . “ suaraku terputus. Tercekat.
I’m really serious. Wait for him, maybe he’ll get here at 2 a.m.”  ujarnya sambil melihat arloji yang melekat di tangannya.
Him? You talk about him and him again. Who is him?” aku tak tahan lagi. Tatapan marahku memaksa pria itu untuk menceritakan yang sebenarnya.
Tangannya menepuk pelan sofa empuk yang sedang didudukinya, menyuruhku ikut duduk disampingnya. Sepertinya dia akan memulai penjelasan, sesuatu yang memang kubutuhkan semenjak tadi. Aku duduk perlahan, mengambil bantalan sofa lalu kututupkan pada pahaku. Kurang nyaman  dan merasa tidak sopan dengan bawahan yang kupakai.
This afternoon a man came begging to me, asked me to bring you to him. You guys didn’t know each other. But somehow he was still forced to see you again. You meet him and he seems to fall in love with you. He rarely behave like this, i knew he was serious. And as a good brother I'm trying to grant his request” aku tertegun dengan ceritanya. Tiap katanya melayang-layang diatas kepalaku. Air mukanya tampak benar-benar serius.  
But how could I believe. Stories like that only exist in the drama” aku menimpali lagi. Masih tidak percaya dengan bualannya. Dia menepuk pundakku pelan, kemudian berkata lagi, “Yeah, it’s love at the first side. And i’m sure that your destiny.” Aku masih terdiam. Ucapannya masih berdengung ditelingaku. Insiden apa lagi ini, tidak tahu harus disyukuri atau bahkan disesali. Tuhan masih menyimpan takdirnya untukku, setidaknya sampai pukul 2 nanti. Aku melihat lagi pria disebelahku, napasnya berat membuatku ikut sesak. Bibirnya melengkung ketika mengetahui aku tengah memandanginya. Dia beranjak, membetulkan sedikit kemejanya yang berantakan lalu berniat pergi.
Sorry I have to go. I prepared all, surely you're also hungry. Because you're not the Korean  person I've been preparing ramen. Whatever, you can do anything. Just enjoy this place until he comes. And one more, call me Seunghwan Oppa” Tangannya mengusap pipiku pelan. Menganggapku seperti adiknya sendiri. Aku sendiri mulai merasa nyaman. Tangannya mengeluarkan secarik kertas dari saku, 4 digit angka tertera disana. Password katanya, aku mengangguk mengerti. Diayuhkan langkahnya menuju pintu, “ Oppa, my name is Ninri. Emm, not my real name. My Korean name of course.” Ucapanku yang tiba-tiba membuatnya menoleh, tersenyum lalu melambaikan tangan. Pergi.
Sendirian di apartemen sebesar ini membuatku sedikit merinding. Mulanya aku berniat untuk bertahan meringkuk di sofa, tapi tak kusangka udara malam kota Seoul benar-benar diluar dugaan. Aku mulai menginterogasi setiap sudut ruangan. Menyematkan tapak kakiku yang asing, berkenalan dengan lantai kayu yang kuinjak. Mataku berkali-kali melirik tangga di sudut ruangan. Mungkin hanya beberapa anak tangga, tapi cukup membuatku penasaran. Tempat tidur empuk terbayang dipelupuk mata. Kakiku bergerak naik, sandal rumah yang kupakai berdecit halus. Sampai di anak tangga teratas, aku melongokkan kepala terlihat pintu kayu dengan boneka skull tengah menyambutku. Menggodaku untuk meraih kenopnya dan dengan magisnya aku terpengaruh tak berdaya.
                Kubuka pelan-pelan pintu yang ternyata tidak terkunci itu. Aku melangkah masuk, aroma maskulin langsung merayu panca inderaku. Semakin dihirup semakin membuat ketagihan. Mataku mencari clue, tapi tetap tak ada jejak. Bahkan sampai aku duduk di ranjang besar di tengah ruangan identitas si pemilik belum juga kutemukan, secuilpun belum. Entah kenapa aroma tadi semakin menusuk hidungku, membuatku mabuk. Bahkan bantal-guling juga berlomba untuk mempesonaku. Kurebahkan perlahan tubuhku, dan mulai berimajinasi. Menggambarkan wajah yang disebut Seunghwan Oppa sebagai “Him”. Otakku menggabung-gabungan sketsa wajah, mulai dari member Suju sampai member Btob. Semacam tidak cocok, jari telunjukku dengan mantap meledakkan buih imaginasi diatas kepala. Aku menyerah dengan kenyataan, merebahkannya di pangkuan bulan yang sinarnya nampak lewat jendela. Detik berikutnya alam bawah sadarku sudah berkuasa. Menghipnotis lebih dalam.
                Debuman langkah, suara keran air, disusul suara berisik lainnya mengganggu  tidur nyamanku. Rasanya aku tidur seperti orang mati, salahkan ranjang dibawahku. Dengan kasur selembut ini siapapun pasti enggan melepas mimpi. Tubuhku sudah tak merasakan dingin. Kain lembut dan tebal melingkupiku mulai dari kaki sampai dagu, nyaman sekali. Tapi aku ingat, aku tidak mengambil selimut waktu pergi tidur. Jangan-jangan . .
                Mataku langsung melotot. Kantuk yang tadinya mengikatku sekarang sudah pergi entah kemana. Aku mencari disetiap sudut kamar, tidak ada seorangpun disini. Lega rasanya, untuk saat ini aku masih bisa bernapas layaknya manusia normal. Tapi Tuhan dengan sangat baik hati mencabut kebahagian sesaatku. Terdengar bunyi Klik! Dari pintu kamar mandi. Berpura-pura tidur lagi tapi inderaku mendengar langkah sayup-sayup mendekat. Jantungku berdetak keras, seperti tak dapat dikendalikan. Kuturunkan selimutku sedikit, mengintip. Pria itu membelakangiku. Punggung tegapnya membuatku menelan ludah. Apa harus semua pria melakukan ritual ini sehabis mandi? Berdiri di depan kaca sambil mengagumi ketampanannya sendiri. Aku mulai menyalahkan kaca yang dengan laknatnya membiaskan tubuh sempurna itu dengan gamblang. Tangannya yang ahli menyemprotkan parfum tepat di dada six pack-nya. Wajahnya masih buram. Masih tak dapat kukenali. Otakku seperti mengumpulkan puzzle yang berserakan, menyatukan kepingannya satu-satu.
                “You’re awake?” suara seraknya mengagetkanku. Membuatku menciut. Kaos putih sudah terpasang asal dibagian atas tubuhnya, menutupi dada bidangnya yang sama sekali tidak manusiawi. Kemudian pria itu berbalik dan saat itu juga aku tersadar, puluhan kembang api seperti meletup-letup dikepalaku. Bukan, tidak hanya kembang api, petasan, dynamite, bahkan bom atom pun ikut memenuhi kepalaku.
                “Oh” Hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Bagaimana tidak seseorang yang biasanya kau lihat dari layar laptop, kau elu-elukan poster jumbonya, dan kau teriakkan saat fangirling kini berdiri tepat dihadapanmu. Memandangmu sayu tapi menggoda.  Tak lagi maya, tapi nyata.

Selasa, 23 Juli 2013

His Innocent



Aku keluar dari gerbang sekolah tepat pukul 9 malam. Make up class hari ini benar-benar sangat lama dan membosankan. Karena jarak rumahku dan sekolah tidak cukup jauh maka kuputuskan untuk berjalan kaki saja. Lumayan untuk berolahraga dan menghirup udara segar. Sedikit mengurangi rasa penat. Tapi malam ini berbeda, udara sangat dingin. Kurapatkan jaket yang melekat ditubuhku. Senyumku tersimpul setelah rasa hangat datang dari mantel coklat itu. Tapi beberapa detik kemudian aku menghela napas ketika menyadari bagian bawah tubuhku masih terterpa angin. Rok sekolah ini benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Salahku juga karena memilih rok yang terlalu pendek. Sudahlah,nikmati saja.  Baru beberapa meter aku berjalan, tatapan mataku berhenti pada beberapa blok lampu didepanku yang ternyata sudah padam. Aisshh, masih pukul berapa ini, Kenapa lampu jalan sudah dimatikan? Sungutku dalam hati. Aku takut-takut melewati blok itu, dan mulai berpikir untuk mempercepat langkah.
                “Ya, Kim Nabi!” Terdengar teriakan dibelakangku. Langkahku terhenti. Sepertinya aku mengenali suara itu. Tapi tidak ingin mengambil resiko, setelah mempersiapkan kuda-kuda aku menoleh takut-takut. Yang pertama tampak adalah rambut pink-nya. Mataku lalu bergerak kebawah mengamati. Pundakku melemas lega, tangan pria itu melambai liar padaku. Luhan.
                “Fiuhh, aku kira kau preman” Jawabku sambil berbalik dan berlari kearahnya. Luhan bergerak maju, tangannya terentang mengisyaratkan pelukan. Akupun membalas pelukannya hangat. Pasti dia sangat merindukanku. Tampak dari matanya.
                “Kau kemana saja, atau sudah lupa denganku?” Luhan memberondongku dengan tatapan ingin tahunya. Aku menepuk pundaknya tanpa berkata apa-apa. Kulepas pelukannya. Masih ingin menatapnya lama-lama. Ketika air mukanya berubah galau, baru kujawab pertanyaanya.
                “Eeey, jangan bergitu. Masak aku bisa lupa dengan sahabatku sendiri” Melemparnya dengan senyuman innocent-ku. Luhan adalah sahabatku semenjak di Junior School. Dulunya kami preman sekolah. Memalak anak-anak culun disekolah, bolos saat jam pelajaran, dan melakukan semua hal yang dilarang di peraturan sekolah. Sayangnya kami masuk di SMA yang berbeda. Dan ditambah lagi aku yang kemudian pensiun karena tuntutan seseorang. Wajahku sumringah ketika membayangkan sosok seseorang itu.
                “Tapi tunggu . .” Aku melihat sahabatku itu dari kepala sampai kaki. Penampilannya masih tampak seperti bad boy. Ah, dia tidak pernah berubah. “Luhan, kau harus segera menyusulku, jadi pria baik-baik itu lebih menyenangkan” aku mencibirnya. Pria itu tersenyum kemudian mengangkat tangannya untuk mengacak-acak rambutku. “Tidak akan, aku tidak akan menjadi lemah sepertimu. Mana pacarmu itu? Pria macam apa membiarkan pacarnya pulang malam sendirian.” Dia berganti mencibir.
                Aku tertawa mendengar ucapannya. “Aku ini kan mantan preman, siapa yang berani menggangguku?” Jawabku sambil meninju perutnya. Luhan pura-pura meringis. “Benarkah? Pasti kemampuanmu sudah berkurang. Kau kan sudah tidak pernah berkelahi” Luhan menatapku dengan kasihan. Aku mendengus mendengar ucapannya. Dia menantangku. Lihat saja apa dia bisa mengalahkanku.
                “Baiklah, bagaimana kalau kita coba?” aku menantangnya duel. Matanya melebar mendengar ajakanku. Kemudian sorot lembut muncul lagi di sepasang mata bulatnya. Bibirnya terangkat, tersenyum. Luhan tidak menjawab, tapi langsung mengepalkan tangan. Tanda dia sudah bersiap. Tinjuku melayang padanya. Kagetnya aku, ketika Luhan dengan mudahnya menangkap tanganku dan mendorongku mundur sampai punggungku terhenti disebuah tembok sebuah toko. Aku terperangkap di kedua lengan kuatnya. Senyumnya menggangguku. Walaupun jujur itu membuatnya tampak lebih cute.
                “Nabi-ya, sepertinya ability-mu bukan hanya berkurang tapi sudah hilang” Bibir Luhan mulai mengeluarkan ejekan mautnya. Aku balas menatapnya dengan senyum getir. Berusaha menahan kuat tangannya. Untung saja lorong ini sepi, kalau tidak pasti orang-orang sudah ramai. Dan mungkin nasib Luhan sudah berakhir di tangan mereka yang tidak tahu apa-apa. “Ya! Kau sudah banyak berubah ternyata. Kalau aku menyerah bagaimana kalau kau mentraktir-ku makan ice cream” Sepertinya mengalah lebih baik, daripada harus menjadi bahan ejekannya. Setidaknya menyelamatkan harga diri, dan tentu saja lebih menguntungkan. Pikirku dalam hati.
                “Kau menyerah? Ckck benar-benar bukan kebiasaanmu.” Luhan tertawa dengan tawaranku. Aku tersenyum malu-malu padanya. Wajahku lalu berubah memelas. “Kau mau tidak, cepatlah kedai ice creamnya sebentar lagi tutup” Aku mengujinya. Dalam hitungan ketiga pasti dia akan melepaskanku. Aku sangat tahu weakness-nya. Dan sel otakku belum sempat menghitung ketika . .
                “Ya! Lepaskan dia!” Terdengar teriakan membahana. Refleks aku dan Luhan menoleh bersamaan. Mataku melebar melihat siapa yang tengah berteriak pada kami. Sedangkan ekspresi Luhan berubah jadi aneh. Dahi mulusnya mengerut. Genggaman kuatnya terlepas tanpa sadar. Pria berseragam sama dengan yang kupakai berdiri tak jauh dari kami. Napasnya memburu seperti habis lomba lari. Matanya yang tajam membuatku merinding. Aku bergidik melihatnya. Dan aku tahu dengan pasti siapa pria itu. 
Tanpa bisa dicegah pria itu berlari menghampiriku. Menarik Luhan menjauh dari tubuhku. Aku masih melongo dengan semua tindakannya. Hantaman tangannya menyapu wajah Luhan. Bibir mungilnya kini berdarah. Dorongan kasarnya tadi membuat Luhan jatuh ditanah. Kurasakan tangannya yang gemetar meraih tanganku kemudian menarikku menjauh, meninggalkan Luhan yang masih terduduk ditanah. Genggaman tangannya terlalu erat membuatku tersaruk-saruk menyamakan langkahnya. Tapi pikiranku masih terpaku pada Luhan. Apa dia baik-baik saja?
                “Jongin-a berhenti, kumohon” aku memelas padanya. Tapi dia seperti tuli. Jangankan menghentikan langkah, menoleh pun tidak. “Tidak akan, sebelum kita aman dari preman sialan itu.” Jawabnya dengan suara parau. Preman sialan? Dia benar-benar sudah salah paham.
                “Kai! Dengarkan aku. Kim Jongin!” tanganku menghempaskan tangannya. Aku berhenti dan tentu saja membuatnya ikut berhenti. Matanya menatapku bertanya. Bibirku tak mengeluarkan suara. Mataku yang berkaca-kaca membuatnya iba. Tubuhnya berbalik kemudian memelukku. Aku menangis dipundaknya. Tangan kanannya yang bebas mengelus punggungku menenangkan. Aku tahu dia sangat khawatir.
                “Kau tidak apa-apa? Jangan menangis, kau aman sekarang” Suaranya membuatku melembut. Salah paham ini harus diluruskan. Memang bukan sepenuhnya salah Kai. Aku lupa dengan penampilan Luhan. Situasi juga yang memperkuatnya.  
                “Bodoh, aman apa maksudmu?” Aku melepaskan pelukanku untuk melihat wajah khawatir Kai. Dia memang pacarku, tapi aku sedikit menahan tawa mengingat sikapnya yang sedikit berlebihan tadi. Tanganku merapikan rambutnya yang berantakan. Dan tidak sengaja terlihat luka mengering didahi kirinya. Kai mengaduh ketika luka itu kutekan. Sekarang wajahku yang berubah khawatir. Lalu kudengar penjelasan singkat dari mulutnya.
                “Hanya luka sedikit, yang penting sekarang kau sudah bersamaku. Tapi kenapa kau mengataiku bodoh?” Kai bertanya-tanya. Tangannya masih memelukku. Aku melepas pelukannya kemudian mengajaknya duduk. Teras toko sepertinya lumayan nyaman.
                “Kau tahu tidak siapa pria tadi?” Aku bertanya padanya sambil mengeluarkan tissue dari saku seragamku. Jariku membersihkan luka didahinya. “Sudah pasti dia preman, kau tidak lihat penampilannya” tandasnya yakin. Aku tertawa mendengar jawabannya. “kenapa malah tertawa?” Tangan hangatnya menghentikan tanganku. Matanya tak mengindahkanku, pura-pura marah. Aku lalu menjelaskan padanya. Siapa Luhan dan apa yang terjadi tadi itu bukan acara palak-memalak atau apapun seperti yang dia pikirkan. Akupun menceritakan dari awal pertemuan dadakanku dengan Luhan.
                “Aku tahu kau pasti berbohong, sahabat macam apa sampai seperti itu” Jawabnya berkilah berusaha mematahkan penjelasanku. Aku mendekat kemudian bersandar dibahunya. Menyadari perubahan sikapku, kerasnya mencair. Kai membetulkan posisi duduknya. Sedikit merendah, membuatku nyaman dengan tinggi tubuhnya yang sedikit tidak manusiawi.
               “Kau ini memang bodoh, kalau dia memang preman pasti dia sudah membalas pukulanmu” Suaraku menyentaknya. Kai terdiam menimbang-nimbang penjelasanku. Kepalanya menggeleng tak percaya “Benar dia sahabatmu?” Tanyanya lagi meyakinkan. Aku mengangguk dibahunya. Terdengar desahan keluar dari bibirnya. “Kenapa?” Aku menoleh padanya lagi. “Aku sudah terlanjur bangga karena sudah menyelamatkanmu dengan tanganku sendiri. Ah, sial!” ketusnya. “Kau harus minta maaf” Jawabku menanggapi. Kulihat dia meringis kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dia malu, aku sudah hapal dengan sikapnya. Aku menepuk pundaknya sambil tersenyum. Kukirimkan sinyal *tidak apa-apa* lewat tanganku.
Aku mengeluarkan ponsel dari tasku, kemudian menunjukkan nomor telepon Luhan. Kai berdecak melihat sikapku. Matanya menatapku. Mengirim pesan telepati berisi “Jangan ketuk yang warna merah”. Aku memang berniat menelepon Luhan. Tangan jahilku menekan tombol dial, lalu menyerahkan ponselku padanya. Tangannya mengembalikan ponsel android itu di pangkuanku.
                “Halo” terdengar suara Luhan dari seberang.
                “Luhan-a, ini aku. Maaf untuk kejadian tadi. Kau baik-baik saja kan?” tanyaku basa-basi. Kai terlihat masih tidak percaya dengan apa yang kulakukan. “Tentu, aku baik-baik saja. Tapi pria tadi siapa? Temanmu?” Berondong Luhan ditelingaku. Aku tertawa kemudian menjawab, “No, he’s my boyfriend you know? Aku bersamanya sekarang. Dia ingin minta maaf padamu. Bicaralah dengannya.” Tanganku menyerahkan paksa ponselku pada Kai. Tangannya menerima ponselku dengan ragu-ragu kemudian kudengar dia mulai bicara pada Luhan. Entah bicara apa, aku juga tidak ingin menguping. Aku memandangnya puas.