Kaki tanganku mulai kesemutan. 2 jam sudah
menunggu dan menganggur di Bandara
Internasional Korea ini. Tas ranselku kini bergolek lemah di kursi besi
sebelah. Aku menyesal sudah merencanakan ide gila ini. Berangkat dari Indonesia
ke Korea hanya untuk sekedar memboyong kamera dan menuai foto-foto eksotis 12
pria tampan asuhan SM Entertainment. Sebut saja EXO. Membayangkan mereka saja
sudah membuatku ngilu. Berbekal sisihan uang jajan bulanan yang kuhitung-hitung
bulannya sudah melebihi jumlah jari tanganku, aku berangkat dengan bangga ke
Korea. Padahal setelah beberapa jam disini aku akan terbang lagi pulang. Miris.
Menurut info yang kudapat, mereka ber-12
akan terbang ke Russia tepat pukul 1 siang, tapi sampai sekarang batang hidung
mancung mereka pun tak jua muncul. Jarum pendek jam tanganku sudah menunjuk
angka 1.30. Membuatku resah, jangan-jangan infonya salah. Bagaimana kalau salah? Kuteguhkan hati lagi, berusaha membuang
semua kemungkinan buruk.
Sudahlah lebih baik tunggu saja. Hatiku
menenangkan. 5 menit, 10 menit, sampai
30 menit mereka tidak juga nampak. Ketukan kakiku semakin lambat ketika
mataku tiba-tiba menangkap sosok pria tinggi lengkap dengan kacamata hitamnya. Boarding dress-nya mencolok. Kemejanya
yang putih bersih seperti tak mau kalah dengan wajah tampan bak porselen itu.
Kris. Tangannya menenteng tas hitam bermerk. Sedangkan tangan satunya
menggenggam erat ponsel. Segera kubidik pose-pose elegannya dengan lensa
kameraku yang terbatas. Bagai arak-arakan Orion,
member yang lain pun mengikuti di belakang Kris. Mungkin karena jam
keberangkatan mereka mundur 100% para paparazzi tak tampak meskipun satu. Tak
menyia-nyiakan kesempatan emas didepan mata, telunjukku yang mulai terampil
berulang kali menekan tombol shutter.
Dimulai dari tingkah konyol Chanyeol sampai pose cute Luhan, semua tak luput
dari bidikanku. Tapi ada yang mengganjal, bibirku berdesis menghitung. Kris,
Lay, Baekhyun, Tao, Suho, Chen, Xiumin, Luhan, Sehun, Chanyeol, ahh . . dimanakah gerangan my dark skin? Juga little DO? Aku celingukan mencari mereka berdua.
Akh . . kini bidikan mataku yang menemukan
dua sosok yang kupuja. Masih dengan baju ala couple yang selalu tampak padan. Hari ini Hoodie melekat santai di
tubuh mereka berdua. Kai dengan Hoodie merah dengan benang simpul tertaut di
bagian kiri dan kanan. Sedangkan Do tampak semakin bersinar dengan Hoodie
kuning cerahnya. Snap! Snap! Snap! Jari telunjukku bergerak sendiri tanpa diperintah. Tahu saja
kalau objek tampan didepannya sudah menunggu. Do yang menyadari keberadaanku
langsung berpose. Pose polos dan lugu seperti biasa. Tangannya menyikut rusuk
Kai, menyuruhnya berpose juga. Kai dengan canggung membentuk tanda peace lewat tangannya, tapi lama-lama
dia mulai bertingkah. Jarak kita semakin dekat, jantungku semacam mencelos
ketika Kai dengan sengaja mengedipkan mata padaku dengan congkaknya. Akh, damn!This man is really arrogant. Suhu
Korea tiba-tiba memanas. Kulihat mereka berjalan lamat-lamat. Mataku masih
mengekor, tapi entah kenapa Kai berkali-kali menatapku. Aku menoleh kebelakang
dengan gugup, mungkin orang lain. Pandangannya merekam, lurus, penuh, dan
fokus. Aku menelan ludah, ada apa dengan mata itu? Mengarah padaku. Lagi dan
lagi.
Aku berjalan gontai. Misi terpenting dan
terkhusus dalam hidupku sudah dilaksanakan. Pesawatku berangkat pukul 6 tepat,
masih 3 jam lagi. Bagaimana kalau berjalan-jalan sebentar, sepertinya ide brillian. Kalau untuk sekedar hunting
foto waktuku lebih dari sekedar cukup. Mataku berpendar mencari kotak minuman
kaleng. Rasanya tenggorokanku sedang musim kemarau. Didinginkan dengan pria
tampan pun tidak akan mempan. Lemari pendingin yang kucari berdiri kaku di
sudut tempat parkir. Aku bergegas menghampiri kotak penyelamatku itu. Kurogoh
uang recehku kemudian kumasukkan di tempatnya, terdengar bunyi kaleng minuman
yang jatuh. Senyumku melebar, minuman dingin sudah ditangan. Aku menengadahkan
kepala, kuminum jus rasa jeruk itu dengan liar. Aku tersentak kaget ketika ada
tangan besar menepuk pelan pundakku. Minuman dimulutku juga ikut kaget,
memalukan.
“Are
you Korean?” pria paruh baya berdiri santai dibelakangku. Menanyaiku dengan
lancang. Tapi tak urung kujawab juga pertanyaannya, walaupun dengan bahasa
inggris-ku yang bisa dibilang minim.
“No,
you know me?” suaraku terbata-bata. Jari telunjukku menunjuk diri sendiri. Apakah
ada kesalahan? Perasaan aku tidak melakukan apa-apa. Tuhan. Desisku dalam hati.
“No”
pria itu menggeleng, membuatku semakin bingung. Matanya kemudian tersenyum, “Will you
come with me?” Tanyanya lagi. Mataku membulat sempurna, kakiku pun refleks
mundur menjauh. Pertanyaan macam apa itu, aku sama sekali tidak mengenal pria ini.
Kenapa tiba-tiba memintaku ikut dengannya. Yang benar saja, apa ini modus
penculikan. Berbagai argument mulai berloncatan dikepalaku.
Aku refleks menggeleng, kulihat dia
tertawa keras,”You don’t know me? How can.”
Sahutnya kemudian. Cih! sombong
sekali memangnya dia siapa. Aku merengut. “Of
course I don’t know you, please tell me now who you are?” sungutku kesal. “My plane was leaving at 6. I have to go
now.” Aku menjelaskan lagi. Tidak ingin berlama-lama dengan omong kosongnya.
Ya, hanya itu. “you shouldn’t go, there is someone who
wants to meet you” dia memohon. Wajahnya berubah serius.
Aku mencoba
mengingat-ingat wajahnya. Tampak familier,
tapi dimana aku pernah bertemu dengannya. “You
have to believe me, I’m not a bad person” Tambahnya lagi, semakin membuatku
dilemma. Melihat sikapnya aku berpikir dua kali. Memangnya siapa yang ingin
bertemu denganku. Ini pertama kalinya aku ke Korea. Antara penasaran dan takut, aku masih diam tak
memberinya jawaban. “You will not regret it, he really wants to meet
you” sepertinya dia serius, dari tampangnya juga
seperti orang baik-baik. Entah kenapa hatiku menjawab YA. Akhirnya aku putuskan
untuk ikut dengannya, masalah siapa itu urusan nanti. “Okay I will go with you but what about the plane”. tanganku menunjuk ke
arah bandara. Senyumnya melebar, tampak deretan
giginya yang putih. “it doesn’t matter, I'll set it up later” Aku mengangguk
paham. Tangannya merangkulku menuju sebuah van yang terparkir tak jauh dari
tempat kami berdiri. Setelah aku masuk van mulai berjalan, tapi mataku
menangkap pemandangan yang sedikit janggal. Van ini didominasi warna hitam,
simbol segienam yang kukenal ada dimana-mana. Apa pemilik van ini adalah
penggemar EXO? tanyaku ragu. Tapi segera kutepis, bagaimana mungkin seorang
bapak-bapak menggemari boyband. Aku tertawa sendiri, tak sanggup
membayangkannya. Kuhentikan pikiran liarku yang penasaran, kutajamkan telingaku
pria didepan kemudi sedang bernyanyi-nyanyi kecil. Lagu yang sangat kukenal. Part of Peterpan song.
Aku mulai terbuai dengan nyanyiannya.
Mataku menutup sedikit demi sedikit dan akhirnya lelap sempurna. Baru tersadar
ketika akhirnya sampai di depan sebuah bangunan real estate yang tinggi menjulang. Pria yang masih belum juga
kukenal itu mengintruksiku untuk mengikutinya. Kakinya melangkah panjang-panjang,
kami berdua masuk kedalam lift dan tangannya menjulur kedepan menekan tombol
up. Tak berhenti juga sampai kita menginjak Lantai 5. Ting! Akhirnya sangat bersyukur bisa segera keluar dari benda
pengap ini. Aku masih mengikutinya penasaran, belum cukup untuk menebak alur
selanjutnya. Sebelum aku sempat berpikir lagi, dia berhenti tepat didepan kamar
nomor 243. Tangannya menekan angka password dan 2 detik kemudian pintu sudah
terbuka lebar.
Tangannya mendorongku masuk. Sebuah
apartement 2 kamar yang lengkap dengan pernak-perniknya. Warna-warna klasik
lebih mendominasi. Perabotan yang tertata rapi, minimalis tapi sempurna dan
akurat. Kekaguman mulai melandaku. Sebelum aku lupa diri, aku tersadar kemudian
menodong pria yang kini sudah duduk santai di sofa dengan beribu pertanyaan.
“Wait
mister, What does all this mean? Brought me here and .
. “ suaraku terputus. Tercekat.
“I’m really serious. Wait for him, maybe he’ll get here at 2 a.m.” ujarnya sambil melihat arloji yang melekat di
tangannya.
“Him? You talk about him and him again. Who is him?” aku tak tahan
lagi. Tatapan marahku memaksa pria itu untuk menceritakan yang sebenarnya.
Tangannya menepuk pelan sofa empuk yang sedang
didudukinya, menyuruhku ikut duduk disampingnya. Sepertinya dia akan memulai
penjelasan, sesuatu yang memang kubutuhkan semenjak tadi. Aku duduk perlahan,
mengambil bantalan sofa lalu kututupkan pada pahaku. Kurang nyaman dan merasa tidak sopan dengan bawahan yang
kupakai.
“This afternoon a man came begging to
me, asked me to bring you to him.
You guys didn’t know each other.
But somehow he was still forced to see you
again. You meet him and he seems to fall in
love with you. He rarely behave like
this, i knew
he was serious. And as a good brother I'm
trying to grant his request” aku tertegun dengan ceritanya. Tiap katanya melayang-layang diatas
kepalaku. Air mukanya tampak benar-benar serius.
“But how could I believe. Stories like that only exist in the
drama” aku menimpali lagi. Masih
tidak percaya dengan bualannya. Dia menepuk pundakku pelan, kemudian berkata
lagi, “Yeah, it’s love at the first side.
And i’m sure that your destiny.” Aku masih terdiam. Ucapannya masih
berdengung ditelingaku. Insiden apa lagi ini, tidak tahu harus disyukuri atau
bahkan disesali. Tuhan masih menyimpan takdirnya untukku, setidaknya sampai
pukul 2 nanti. Aku melihat lagi pria disebelahku, napasnya berat membuatku ikut
sesak. Bibirnya melengkung ketika mengetahui aku tengah memandanginya. Dia
beranjak, membetulkan sedikit kemejanya yang berantakan lalu berniat pergi.
“Sorry I
have to go. I
prepared all, surely you're also hungry. Because
you're not the Korean person I've been
preparing ramen. Whatever, you
can do anything. Just enjoy this place until he comes. And one more,
call me Seunghwan Oppa” Tangannya
mengusap pipiku pelan. Menganggapku seperti adiknya sendiri. Aku sendiri mulai
merasa nyaman. Tangannya mengeluarkan secarik kertas dari saku, 4 digit angka
tertera disana. Password katanya, aku mengangguk mengerti. Diayuhkan langkahnya
menuju pintu, “ Oppa, my name is Ninri. Emm,
not my real name. My Korean name of course.” Ucapanku yang tiba-tiba membuatnya
menoleh, tersenyum lalu melambaikan tangan. Pergi.
Sendirian di apartemen
sebesar ini membuatku sedikit merinding. Mulanya aku berniat untuk bertahan
meringkuk di sofa, tapi tak kusangka udara malam kota Seoul benar-benar diluar
dugaan. Aku mulai menginterogasi setiap sudut ruangan. Menyematkan tapak kakiku
yang asing, berkenalan dengan lantai kayu yang kuinjak. Mataku berkali-kali
melirik tangga di sudut ruangan. Mungkin hanya beberapa anak tangga, tapi cukup
membuatku penasaran. Tempat tidur empuk terbayang dipelupuk mata. Kakiku
bergerak naik, sandal rumah yang kupakai berdecit halus. Sampai di anak tangga
teratas, aku melongokkan kepala terlihat pintu kayu dengan boneka skull tengah menyambutku. Menggodaku untuk
meraih kenopnya dan dengan magisnya aku terpengaruh tak berdaya.
Kubuka
pelan-pelan pintu yang ternyata tidak terkunci itu. Aku melangkah masuk, aroma
maskulin langsung merayu panca inderaku. Semakin dihirup semakin membuat
ketagihan. Mataku mencari clue, tapi
tetap tak ada jejak. Bahkan sampai aku duduk di ranjang besar di tengah ruangan
identitas si pemilik belum juga kutemukan, secuilpun belum. Entah kenapa aroma
tadi semakin menusuk hidungku, membuatku mabuk. Bahkan bantal-guling juga
berlomba untuk mempesonaku. Kurebahkan perlahan tubuhku, dan mulai
berimajinasi. Menggambarkan wajah yang disebut Seunghwan Oppa sebagai “Him”. Otakku menggabung-gabungan sketsa
wajah, mulai dari member Suju sampai member Btob. Semacam tidak cocok, jari
telunjukku dengan mantap meledakkan buih imaginasi diatas kepala. Aku menyerah
dengan kenyataan, merebahkannya di pangkuan bulan yang sinarnya nampak lewat
jendela. Detik berikutnya alam bawah sadarku sudah berkuasa. Menghipnotis lebih
dalam.
Debuman
langkah, suara keran air, disusul suara berisik lainnya mengganggu tidur nyamanku. Rasanya aku tidur seperti
orang mati, salahkan ranjang dibawahku. Dengan kasur selembut ini siapapun
pasti enggan melepas mimpi. Tubuhku sudah tak merasakan dingin. Kain lembut dan
tebal melingkupiku mulai dari kaki sampai dagu, nyaman sekali. Tapi aku ingat,
aku tidak mengambil selimut waktu pergi tidur. Jangan-jangan . .
Mataku
langsung melotot. Kantuk yang tadinya mengikatku sekarang sudah pergi entah
kemana. Aku mencari disetiap sudut kamar, tidak ada seorangpun disini. Lega
rasanya, untuk saat ini aku masih bisa bernapas layaknya manusia normal. Tapi
Tuhan dengan sangat baik hati mencabut kebahagian sesaatku. Terdengar bunyi Klik! Dari pintu kamar mandi.
Berpura-pura tidur lagi tapi inderaku mendengar langkah sayup-sayup mendekat.
Jantungku berdetak keras, seperti tak dapat dikendalikan. Kuturunkan selimutku
sedikit, mengintip. Pria itu membelakangiku. Punggung tegapnya membuatku
menelan ludah. Apa harus semua pria melakukan ritual ini sehabis mandi? Berdiri
di depan kaca sambil mengagumi ketampanannya sendiri. Aku mulai menyalahkan
kaca yang dengan laknatnya membiaskan tubuh sempurna itu dengan gamblang.
Tangannya yang ahli menyemprotkan parfum tepat di dada six pack-nya. Wajahnya
masih buram. Masih tak dapat kukenali. Otakku seperti mengumpulkan puzzle yang berserakan, menyatukan
kepingannya satu-satu.
“You’re
awake?” suara seraknya mengagetkanku. Membuatku menciut. Kaos putih sudah terpasang
asal dibagian atas tubuhnya, menutupi dada bidangnya yang sama sekali tidak
manusiawi. Kemudian pria itu berbalik dan saat itu juga aku tersadar, puluhan
kembang api seperti meletup-letup dikepalaku. Bukan, tidak hanya kembang api,
petasan, dynamite, bahkan bom atom pun ikut memenuhi kepalaku.
“Oh”
Hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Bagaimana tidak seseorang yang
biasanya kau lihat dari layar laptop,
kau elu-elukan poster jumbonya, dan kau teriakkan saat fangirling kini berdiri tepat dihadapanmu. Memandangmu sayu tapi
menggoda. Tak lagi maya, tapi nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar