Rabu, 24 Juli 2013

This Man (Part 1)



Kaki tanganku mulai kesemutan. 2 jam sudah menunggu dan menganggur  di Bandara Internasional Korea ini. Tas ranselku kini bergolek lemah di kursi besi sebelah. Aku menyesal sudah merencanakan ide gila ini. Berangkat dari Indonesia ke Korea hanya untuk sekedar memboyong kamera dan menuai foto-foto eksotis 12 pria tampan asuhan SM Entertainment. Sebut saja EXO. Membayangkan mereka saja sudah membuatku ngilu. Berbekal sisihan uang jajan bulanan yang kuhitung-hitung bulannya sudah melebihi jumlah jari tanganku, aku berangkat dengan bangga ke Korea. Padahal setelah beberapa jam disini aku akan terbang lagi pulang. Miris.
Menurut info yang kudapat, mereka ber-12 akan terbang ke Russia tepat pukul 1 siang, tapi sampai sekarang batang hidung mancung mereka pun tak jua muncul. Jarum pendek jam tanganku sudah menunjuk angka 1.30. Membuatku resah, jangan-jangan infonya salah. Bagaimana kalau salah? Kuteguhkan hati lagi, berusaha membuang semua kemungkinan buruk.
Sudahlah lebih baik tunggu saja. Hatiku menenangkan. 5 menit, 10 menit, sampai  30 menit mereka tidak juga nampak. Ketukan kakiku semakin lambat ketika mataku tiba-tiba menangkap sosok pria tinggi lengkap dengan kacamata hitamnya. Boarding dress-nya mencolok. Kemejanya yang putih bersih seperti tak mau kalah dengan wajah tampan bak porselen itu. Kris. Tangannya menenteng tas hitam bermerk. Sedangkan tangan satunya menggenggam erat ponsel. Segera kubidik pose-pose elegannya dengan lensa kameraku yang terbatas. Bagai arak-arakan Orion, member yang lain pun mengikuti di belakang Kris. Mungkin karena jam keberangkatan mereka mundur 100% para paparazzi tak tampak meskipun satu. Tak menyia-nyiakan kesempatan emas didepan mata, telunjukku yang mulai terampil berulang kali menekan tombol shutter. Dimulai dari tingkah konyol Chanyeol sampai pose cute Luhan, semua tak luput dari bidikanku. Tapi ada yang mengganjal, bibirku berdesis menghitung. Kris, Lay, Baekhyun, Tao, Suho, Chen, Xiumin, Luhan, Sehun, Chanyeol, ahh . . dimanakah gerangan my dark skin? Juga little DO? Aku celingukan mencari mereka berdua.
Akh . . kini bidikan mataku yang menemukan dua sosok yang kupuja. Masih dengan baju ala couple yang selalu tampak padan. Hari ini Hoodie melekat santai di tubuh mereka berdua. Kai dengan Hoodie merah dengan benang simpul tertaut di bagian kiri dan kanan. Sedangkan Do tampak semakin bersinar dengan Hoodie kuning cerahnya. Snap! Snap! Snap! Jari telunjukku bergerak sendiri tanpa diperintah. Tahu saja kalau objek tampan didepannya sudah menunggu. Do yang menyadari keberadaanku langsung berpose. Pose polos dan lugu seperti biasa. Tangannya menyikut rusuk Kai, menyuruhnya berpose juga. Kai dengan canggung membentuk tanda peace lewat tangannya, tapi lama-lama dia mulai bertingkah. Jarak kita semakin dekat, jantungku semacam mencelos ketika Kai dengan sengaja mengedipkan mata padaku dengan congkaknya. Akh, damn!This man is really arrogant. Suhu Korea tiba-tiba memanas. Kulihat mereka berjalan lamat-lamat. Mataku masih mengekor, tapi entah kenapa Kai berkali-kali menatapku. Aku menoleh kebelakang dengan gugup, mungkin orang lain. Pandangannya merekam, lurus, penuh, dan fokus. Aku menelan ludah, ada apa dengan mata itu? Mengarah padaku. Lagi dan lagi.
Aku berjalan gontai. Misi terpenting dan terkhusus dalam hidupku sudah dilaksanakan. Pesawatku berangkat pukul 6 tepat, masih 3 jam lagi. Bagaimana kalau berjalan-jalan sebentar, sepertinya ide brillian. Kalau untuk sekedar hunting foto waktuku lebih dari sekedar cukup. Mataku berpendar mencari kotak minuman kaleng. Rasanya tenggorokanku sedang musim kemarau. Didinginkan dengan pria tampan pun tidak akan mempan. Lemari pendingin yang kucari berdiri kaku di sudut tempat parkir. Aku bergegas menghampiri kotak penyelamatku itu. Kurogoh uang recehku kemudian kumasukkan di tempatnya, terdengar bunyi kaleng minuman yang jatuh. Senyumku melebar, minuman dingin sudah ditangan. Aku menengadahkan kepala, kuminum jus rasa jeruk itu dengan liar. Aku tersentak kaget ketika ada tangan besar menepuk pelan pundakku. Minuman dimulutku juga ikut kaget, memalukan.
Are you Korean?” pria paruh baya berdiri santai dibelakangku. Menanyaiku dengan lancang. Tapi tak urung kujawab juga pertanyaannya, walaupun dengan bahasa inggris-ku yang bisa dibilang minim.  
No, you know me?” suaraku terbata-bata. Jari telunjukku menunjuk diri sendiri. Apakah ada kesalahan? Perasaan aku tidak melakukan apa-apa. Tuhan. Desisku dalam hati.
No” pria itu menggeleng, membuatku semakin bingung. Matanya kemudian tersenyum, “Will you come with me?” Tanyanya lagi. Mataku membulat sempurna, kakiku pun refleks mundur menjauh. Pertanyaan macam apa itu, aku sama sekali tidak mengenal pria ini. Kenapa tiba-tiba memintaku ikut dengannya. Yang benar saja, apa ini modus penculikan. Berbagai argument mulai berloncatan dikepalaku.
Aku refleks menggeleng, kulihat dia tertawa keras,”You don’t know me? How can.” Sahutnya kemudian. Cih! sombong sekali memangnya dia siapa. Aku merengut. “Of course I don’t know you, please tell me now who you are?” sungutku kesal. “My plane was leaving at 6. I have to go now.” Aku menjelaskan lagi. Tidak ingin berlama-lama dengan omong kosongnya. Ya, hanya itu. “you shouldn’t go, there is someone who wants to meet you” dia memohon. Wajahnya berubah serius.
Aku mencoba mengingat-ingat wajahnya. Tampak familier, tapi dimana aku pernah bertemu dengannya. “You have to believe me, I’m not a bad person” Tambahnya lagi, semakin membuatku dilemma. Melihat sikapnya aku berpikir dua kali. Memangnya siapa yang ingin bertemu denganku. Ini pertama kalinya aku ke Korea.  Antara penasaran dan takut, aku masih diam tak memberinya jawaban. “You will not regret it, he really wants to meet you” sepertinya dia serius, dari tampangnya juga seperti orang baik-baik. Entah kenapa hatiku menjawab YA. Akhirnya aku putuskan untuk ikut dengannya, masalah siapa itu urusan nanti. “Okay I will go with you but what about the plane”. tanganku menunjuk ke arah bandara. Senyumnya melebar, tampak  deretan giginya yang putih. “it doesn’t matter, I'll set it up later” Aku mengangguk paham. Tangannya merangkulku menuju sebuah van yang terparkir tak jauh dari tempat kami berdiri. Setelah aku masuk van mulai berjalan, tapi mataku menangkap pemandangan yang sedikit janggal. Van ini didominasi warna hitam, simbol segienam yang kukenal ada dimana-mana. Apa pemilik van ini adalah penggemar EXO? tanyaku ragu. Tapi segera kutepis, bagaimana mungkin seorang bapak-bapak menggemari boyband. Aku tertawa sendiri, tak sanggup membayangkannya. Kuhentikan pikiran liarku yang penasaran, kutajamkan telingaku pria didepan kemudi sedang bernyanyi-nyanyi kecil. Lagu yang sangat kukenal. Part of Peterpan song.
Aku mulai terbuai dengan nyanyiannya. Mataku menutup sedikit demi sedikit dan akhirnya lelap sempurna. Baru tersadar ketika akhirnya sampai di depan sebuah bangunan real estate yang tinggi menjulang. Pria yang masih belum juga kukenal itu mengintruksiku untuk mengikutinya. Kakinya melangkah panjang-panjang, kami berdua masuk kedalam lift dan tangannya menjulur kedepan menekan tombol up. Tak berhenti juga sampai kita menginjak Lantai 5. Ting! Akhirnya sangat bersyukur bisa segera keluar dari benda pengap ini. Aku masih mengikutinya penasaran, belum cukup untuk menebak alur selanjutnya. Sebelum aku sempat berpikir lagi, dia berhenti tepat didepan kamar nomor 243. Tangannya menekan angka password dan 2 detik kemudian pintu sudah terbuka lebar.
Tangannya mendorongku masuk. Sebuah apartement 2 kamar yang lengkap dengan pernak-perniknya. Warna-warna klasik lebih mendominasi. Perabotan yang tertata rapi, minimalis tapi sempurna dan akurat. Kekaguman mulai melandaku. Sebelum aku lupa diri, aku tersadar kemudian menodong pria yang kini sudah duduk santai di sofa dengan beribu pertanyaan.
Wait mister, What does all this mean? Brought me here and . . “ suaraku terputus. Tercekat.
I’m really serious. Wait for him, maybe he’ll get here at 2 a.m.”  ujarnya sambil melihat arloji yang melekat di tangannya.
Him? You talk about him and him again. Who is him?” aku tak tahan lagi. Tatapan marahku memaksa pria itu untuk menceritakan yang sebenarnya.
Tangannya menepuk pelan sofa empuk yang sedang didudukinya, menyuruhku ikut duduk disampingnya. Sepertinya dia akan memulai penjelasan, sesuatu yang memang kubutuhkan semenjak tadi. Aku duduk perlahan, mengambil bantalan sofa lalu kututupkan pada pahaku. Kurang nyaman  dan merasa tidak sopan dengan bawahan yang kupakai.
This afternoon a man came begging to me, asked me to bring you to him. You guys didn’t know each other. But somehow he was still forced to see you again. You meet him and he seems to fall in love with you. He rarely behave like this, i knew he was serious. And as a good brother I'm trying to grant his request” aku tertegun dengan ceritanya. Tiap katanya melayang-layang diatas kepalaku. Air mukanya tampak benar-benar serius.  
But how could I believe. Stories like that only exist in the drama” aku menimpali lagi. Masih tidak percaya dengan bualannya. Dia menepuk pundakku pelan, kemudian berkata lagi, “Yeah, it’s love at the first side. And i’m sure that your destiny.” Aku masih terdiam. Ucapannya masih berdengung ditelingaku. Insiden apa lagi ini, tidak tahu harus disyukuri atau bahkan disesali. Tuhan masih menyimpan takdirnya untukku, setidaknya sampai pukul 2 nanti. Aku melihat lagi pria disebelahku, napasnya berat membuatku ikut sesak. Bibirnya melengkung ketika mengetahui aku tengah memandanginya. Dia beranjak, membetulkan sedikit kemejanya yang berantakan lalu berniat pergi.
Sorry I have to go. I prepared all, surely you're also hungry. Because you're not the Korean  person I've been preparing ramen. Whatever, you can do anything. Just enjoy this place until he comes. And one more, call me Seunghwan Oppa” Tangannya mengusap pipiku pelan. Menganggapku seperti adiknya sendiri. Aku sendiri mulai merasa nyaman. Tangannya mengeluarkan secarik kertas dari saku, 4 digit angka tertera disana. Password katanya, aku mengangguk mengerti. Diayuhkan langkahnya menuju pintu, “ Oppa, my name is Ninri. Emm, not my real name. My Korean name of course.” Ucapanku yang tiba-tiba membuatnya menoleh, tersenyum lalu melambaikan tangan. Pergi.
Sendirian di apartemen sebesar ini membuatku sedikit merinding. Mulanya aku berniat untuk bertahan meringkuk di sofa, tapi tak kusangka udara malam kota Seoul benar-benar diluar dugaan. Aku mulai menginterogasi setiap sudut ruangan. Menyematkan tapak kakiku yang asing, berkenalan dengan lantai kayu yang kuinjak. Mataku berkali-kali melirik tangga di sudut ruangan. Mungkin hanya beberapa anak tangga, tapi cukup membuatku penasaran. Tempat tidur empuk terbayang dipelupuk mata. Kakiku bergerak naik, sandal rumah yang kupakai berdecit halus. Sampai di anak tangga teratas, aku melongokkan kepala terlihat pintu kayu dengan boneka skull tengah menyambutku. Menggodaku untuk meraih kenopnya dan dengan magisnya aku terpengaruh tak berdaya.
                Kubuka pelan-pelan pintu yang ternyata tidak terkunci itu. Aku melangkah masuk, aroma maskulin langsung merayu panca inderaku. Semakin dihirup semakin membuat ketagihan. Mataku mencari clue, tapi tetap tak ada jejak. Bahkan sampai aku duduk di ranjang besar di tengah ruangan identitas si pemilik belum juga kutemukan, secuilpun belum. Entah kenapa aroma tadi semakin menusuk hidungku, membuatku mabuk. Bahkan bantal-guling juga berlomba untuk mempesonaku. Kurebahkan perlahan tubuhku, dan mulai berimajinasi. Menggambarkan wajah yang disebut Seunghwan Oppa sebagai “Him”. Otakku menggabung-gabungan sketsa wajah, mulai dari member Suju sampai member Btob. Semacam tidak cocok, jari telunjukku dengan mantap meledakkan buih imaginasi diatas kepala. Aku menyerah dengan kenyataan, merebahkannya di pangkuan bulan yang sinarnya nampak lewat jendela. Detik berikutnya alam bawah sadarku sudah berkuasa. Menghipnotis lebih dalam.
                Debuman langkah, suara keran air, disusul suara berisik lainnya mengganggu  tidur nyamanku. Rasanya aku tidur seperti orang mati, salahkan ranjang dibawahku. Dengan kasur selembut ini siapapun pasti enggan melepas mimpi. Tubuhku sudah tak merasakan dingin. Kain lembut dan tebal melingkupiku mulai dari kaki sampai dagu, nyaman sekali. Tapi aku ingat, aku tidak mengambil selimut waktu pergi tidur. Jangan-jangan . .
                Mataku langsung melotot. Kantuk yang tadinya mengikatku sekarang sudah pergi entah kemana. Aku mencari disetiap sudut kamar, tidak ada seorangpun disini. Lega rasanya, untuk saat ini aku masih bisa bernapas layaknya manusia normal. Tapi Tuhan dengan sangat baik hati mencabut kebahagian sesaatku. Terdengar bunyi Klik! Dari pintu kamar mandi. Berpura-pura tidur lagi tapi inderaku mendengar langkah sayup-sayup mendekat. Jantungku berdetak keras, seperti tak dapat dikendalikan. Kuturunkan selimutku sedikit, mengintip. Pria itu membelakangiku. Punggung tegapnya membuatku menelan ludah. Apa harus semua pria melakukan ritual ini sehabis mandi? Berdiri di depan kaca sambil mengagumi ketampanannya sendiri. Aku mulai menyalahkan kaca yang dengan laknatnya membiaskan tubuh sempurna itu dengan gamblang. Tangannya yang ahli menyemprotkan parfum tepat di dada six pack-nya. Wajahnya masih buram. Masih tak dapat kukenali. Otakku seperti mengumpulkan puzzle yang berserakan, menyatukan kepingannya satu-satu.
                “You’re awake?” suara seraknya mengagetkanku. Membuatku menciut. Kaos putih sudah terpasang asal dibagian atas tubuhnya, menutupi dada bidangnya yang sama sekali tidak manusiawi. Kemudian pria itu berbalik dan saat itu juga aku tersadar, puluhan kembang api seperti meletup-letup dikepalaku. Bukan, tidak hanya kembang api, petasan, dynamite, bahkan bom atom pun ikut memenuhi kepalaku.
                “Oh” Hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Bagaimana tidak seseorang yang biasanya kau lihat dari layar laptop, kau elu-elukan poster jumbonya, dan kau teriakkan saat fangirling kini berdiri tepat dihadapanmu. Memandangmu sayu tapi menggoda.  Tak lagi maya, tapi nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar