Aku keluar dari gerbang sekolah tepat pukul 9 malam. Make up
class hari ini benar-benar sangat lama dan membosankan. Karena jarak rumahku
dan sekolah tidak cukup jauh maka kuputuskan untuk berjalan kaki saja. Lumayan
untuk berolahraga dan menghirup udara segar. Sedikit mengurangi rasa penat. Tapi
malam ini berbeda, udara sangat dingin. Kurapatkan jaket yang melekat
ditubuhku. Senyumku tersimpul setelah rasa hangat datang dari mantel coklat
itu. Tapi beberapa detik kemudian aku menghela napas ketika menyadari bagian
bawah tubuhku masih terterpa angin. Rok sekolah ini benar-benar tidak bisa
diajak kompromi. Salahku juga karena memilih rok yang terlalu pendek.
Sudahlah,nikmati saja. Baru beberapa
meter aku berjalan, tatapan mataku berhenti pada beberapa blok lampu didepanku
yang ternyata sudah padam. Aisshh, masih
pukul berapa ini, Kenapa lampu jalan sudah dimatikan? Sungutku dalam hati.
Aku takut-takut melewati blok itu, dan mulai berpikir untuk mempercepat
langkah.
“Ya, Kim
Nabi!” Terdengar teriakan dibelakangku. Langkahku terhenti. Sepertinya aku
mengenali suara itu. Tapi tidak ingin mengambil resiko, setelah mempersiapkan
kuda-kuda aku menoleh takut-takut. Yang pertama tampak adalah rambut pink-nya. Mataku
lalu bergerak kebawah mengamati. Pundakku melemas lega, tangan pria itu
melambai liar padaku. Luhan.
“Fiuhh,
aku kira kau preman” Jawabku sambil berbalik dan berlari kearahnya. Luhan
bergerak maju, tangannya terentang mengisyaratkan pelukan. Akupun membalas pelukannya
hangat. Pasti dia sangat merindukanku. Tampak dari matanya.
“Kau
kemana saja, atau sudah lupa denganku?” Luhan memberondongku dengan tatapan
ingin tahunya. Aku menepuk pundaknya tanpa berkata apa-apa. Kulepas pelukannya.
Masih ingin menatapnya lama-lama. Ketika air mukanya berubah galau, baru
kujawab pertanyaanya.
“Eeey,
jangan bergitu. Masak aku bisa lupa dengan sahabatku sendiri” Melemparnya
dengan senyuman innocent-ku. Luhan adalah sahabatku semenjak di Junior School.
Dulunya kami preman sekolah. Memalak anak-anak culun disekolah, bolos saat jam
pelajaran, dan melakukan semua hal yang dilarang di peraturan sekolah.
Sayangnya kami masuk di SMA yang berbeda. Dan ditambah lagi aku yang kemudian pensiun
karena tuntutan seseorang. Wajahku sumringah ketika membayangkan sosok
seseorang itu.
“Tapi
tunggu . .” Aku melihat sahabatku itu dari kepala sampai kaki. Penampilannya
masih tampak seperti bad boy. Ah, dia tidak pernah berubah. “Luhan,
kau harus segera menyusulku, jadi pria baik-baik itu lebih menyenangkan” aku
mencibirnya. Pria itu tersenyum kemudian mengangkat tangannya untuk
mengacak-acak rambutku. “Tidak akan, aku tidak akan menjadi lemah sepertimu.
Mana pacarmu itu? Pria macam apa membiarkan pacarnya pulang malam sendirian.” Dia
berganti mencibir.
Aku
tertawa mendengar ucapannya. “Aku ini kan mantan preman, siapa yang berani
menggangguku?” Jawabku sambil meninju perutnya. Luhan pura-pura meringis.
“Benarkah? Pasti kemampuanmu sudah berkurang. Kau kan sudah tidak pernah
berkelahi” Luhan menatapku dengan kasihan. Aku mendengus mendengar ucapannya.
Dia menantangku. Lihat saja apa dia bisa mengalahkanku.
“Baiklah,
bagaimana kalau kita coba?” aku menantangnya duel. Matanya melebar mendengar
ajakanku. Kemudian sorot lembut muncul lagi di sepasang mata bulatnya. Bibirnya
terangkat, tersenyum. Luhan tidak menjawab, tapi langsung mengepalkan tangan.
Tanda dia sudah bersiap. Tinjuku melayang padanya. Kagetnya aku, ketika Luhan
dengan mudahnya menangkap tanganku dan mendorongku mundur sampai punggungku
terhenti disebuah tembok sebuah toko. Aku terperangkap di kedua lengan kuatnya.
Senyumnya menggangguku. Walaupun jujur itu membuatnya tampak lebih cute.
“Nabi-ya,
sepertinya ability-mu bukan hanya
berkurang tapi sudah hilang” Bibir Luhan mulai mengeluarkan ejekan mautnya. Aku
balas menatapnya dengan senyum getir. Berusaha menahan kuat tangannya. Untung
saja lorong ini sepi, kalau tidak pasti orang-orang sudah ramai. Dan mungkin
nasib Luhan sudah berakhir di tangan mereka yang tidak tahu apa-apa. “Ya! Kau
sudah banyak berubah ternyata. Kalau aku menyerah bagaimana kalau kau
mentraktir-ku makan ice cream” Sepertinya mengalah lebih baik, daripada harus menjadi
bahan ejekannya. Setidaknya menyelamatkan harga diri, dan tentu saja lebih
menguntungkan. Pikirku dalam hati.
“Kau
menyerah? Ckck benar-benar bukan kebiasaanmu.” Luhan tertawa dengan tawaranku.
Aku tersenyum malu-malu padanya. Wajahku lalu berubah memelas. “Kau mau tidak,
cepatlah kedai ice creamnya sebentar lagi tutup” Aku mengujinya. Dalam hitungan
ketiga pasti dia akan melepaskanku. Aku sangat tahu weakness-nya. Dan sel otakku belum sempat menghitung ketika . .
“Ya!
Lepaskan dia!” Terdengar teriakan membahana. Refleks aku dan Luhan menoleh
bersamaan. Mataku melebar melihat siapa yang tengah berteriak pada kami.
Sedangkan ekspresi Luhan berubah jadi aneh. Dahi mulusnya mengerut. Genggaman
kuatnya terlepas tanpa sadar. Pria berseragam sama dengan yang kupakai berdiri
tak jauh dari kami. Napasnya memburu seperti habis lomba lari. Matanya yang
tajam membuatku merinding. Aku bergidik melihatnya. Dan aku tahu dengan pasti siapa
pria itu.
Tanpa bisa dicegah pria itu berlari menghampiriku. Menarik
Luhan menjauh dari tubuhku. Aku masih melongo dengan semua tindakannya.
Hantaman tangannya menyapu wajah Luhan. Bibir mungilnya kini berdarah. Dorongan
kasarnya tadi membuat Luhan jatuh ditanah. Kurasakan tangannya yang gemetar
meraih tanganku kemudian menarikku menjauh, meninggalkan Luhan yang masih
terduduk ditanah. Genggaman tangannya terlalu erat membuatku tersaruk-saruk
menyamakan langkahnya. Tapi pikiranku masih terpaku pada Luhan. Apa dia baik-baik saja?
“Jongin-a
berhenti, kumohon” aku memelas padanya. Tapi dia seperti tuli. Jangankan
menghentikan langkah, menoleh pun tidak. “Tidak akan, sebelum kita aman dari
preman sialan itu.” Jawabnya dengan suara parau. Preman sialan? Dia benar-benar sudah salah paham.
“Kai! Dengarkan
aku. Kim Jongin!” tanganku menghempaskan tangannya. Aku berhenti dan tentu saja
membuatnya ikut berhenti. Matanya menatapku bertanya. Bibirku tak mengeluarkan
suara. Mataku yang berkaca-kaca membuatnya iba. Tubuhnya berbalik kemudian
memelukku. Aku menangis dipundaknya. Tangan kanannya yang bebas mengelus
punggungku menenangkan. Aku tahu dia sangat khawatir.
“Kau
tidak apa-apa? Jangan menangis, kau aman sekarang” Suaranya membuatku melembut.
Salah paham ini harus diluruskan. Memang bukan sepenuhnya salah Kai. Aku lupa
dengan penampilan Luhan. Situasi juga yang memperkuatnya.
“Bodoh,
aman apa maksudmu?” Aku melepaskan pelukanku untuk melihat wajah khawatir Kai.
Dia memang pacarku, tapi aku sedikit menahan tawa mengingat sikapnya yang
sedikit berlebihan tadi. Tanganku merapikan rambutnya yang berantakan. Dan
tidak sengaja terlihat luka mengering didahi kirinya. Kai mengaduh ketika luka
itu kutekan. Sekarang wajahku yang berubah khawatir. Lalu kudengar penjelasan
singkat dari mulutnya.
“Hanya
luka sedikit, yang penting sekarang kau sudah bersamaku. Tapi kenapa kau
mengataiku bodoh?” Kai bertanya-tanya. Tangannya masih memelukku. Aku melepas
pelukannya kemudian mengajaknya duduk. Teras toko sepertinya lumayan nyaman.
“Kau
tahu tidak siapa pria tadi?” Aku bertanya padanya sambil mengeluarkan tissue
dari saku seragamku. Jariku membersihkan luka didahinya. “Sudah pasti dia
preman, kau tidak lihat penampilannya” tandasnya yakin. Aku tertawa mendengar
jawabannya. “kenapa malah tertawa?” Tangan hangatnya menghentikan tanganku. Matanya
tak mengindahkanku, pura-pura marah. Aku lalu menjelaskan padanya. Siapa Luhan
dan apa yang terjadi tadi itu bukan acara palak-memalak atau apapun seperti
yang dia pikirkan. Akupun menceritakan dari awal pertemuan dadakanku dengan
Luhan.
“Aku
tahu kau pasti berbohong, sahabat macam apa sampai seperti itu” Jawabnya
berkilah berusaha mematahkan penjelasanku. Aku mendekat kemudian bersandar dibahunya.
Menyadari perubahan sikapku, kerasnya mencair. Kai membetulkan posisi duduknya.
Sedikit merendah, membuatku nyaman dengan tinggi tubuhnya yang sedikit tidak
manusiawi.
“Kau ini
memang bodoh, kalau dia memang preman pasti dia sudah membalas pukulanmu” Suaraku
menyentaknya. Kai terdiam menimbang-nimbang penjelasanku. Kepalanya menggeleng
tak percaya “Benar dia sahabatmu?” Tanyanya lagi meyakinkan. Aku mengangguk
dibahunya. Terdengar desahan keluar dari bibirnya. “Kenapa?” Aku menoleh
padanya lagi. “Aku sudah terlanjur bangga karena sudah menyelamatkanmu dengan
tanganku sendiri. Ah, sial!” ketusnya. “Kau harus minta maaf” Jawabku
menanggapi. Kulihat dia meringis kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Dia malu, aku sudah hapal dengan sikapnya. Aku menepuk pundaknya sambil
tersenyum. Kukirimkan sinyal *tidak apa-apa* lewat tanganku.
Aku mengeluarkan ponsel dari tasku, kemudian menunjukkan
nomor telepon Luhan. Kai berdecak melihat sikapku. Matanya menatapku. Mengirim
pesan telepati berisi “Jangan ketuk yang
warna merah”. Aku memang berniat menelepon Luhan. Tangan jahilku menekan
tombol dial, lalu menyerahkan ponselku padanya. Tangannya mengembalikan ponsel android
itu di pangkuanku.
“Halo”
terdengar suara Luhan dari seberang.
“Luhan-a,
ini aku. Maaf untuk kejadian tadi. Kau baik-baik saja kan?” tanyaku basa-basi.
Kai terlihat masih tidak percaya dengan apa yang kulakukan. “Tentu, aku
baik-baik saja. Tapi pria tadi siapa? Temanmu?” Berondong Luhan ditelingaku.
Aku tertawa kemudian menjawab, “No, he’s
my boyfriend you know? Aku bersamanya sekarang. Dia ingin minta maaf
padamu. Bicaralah dengannya.” Tanganku menyerahkan paksa ponselku pada Kai. Tangannya
menerima ponselku dengan ragu-ragu kemudian kudengar dia mulai bicara pada
Luhan. Entah bicara apa, aku juga tidak ingin menguping. Aku memandangnya puas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar