Selasa, 23 Juli 2013

His Innocent



Aku keluar dari gerbang sekolah tepat pukul 9 malam. Make up class hari ini benar-benar sangat lama dan membosankan. Karena jarak rumahku dan sekolah tidak cukup jauh maka kuputuskan untuk berjalan kaki saja. Lumayan untuk berolahraga dan menghirup udara segar. Sedikit mengurangi rasa penat. Tapi malam ini berbeda, udara sangat dingin. Kurapatkan jaket yang melekat ditubuhku. Senyumku tersimpul setelah rasa hangat datang dari mantel coklat itu. Tapi beberapa detik kemudian aku menghela napas ketika menyadari bagian bawah tubuhku masih terterpa angin. Rok sekolah ini benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Salahku juga karena memilih rok yang terlalu pendek. Sudahlah,nikmati saja.  Baru beberapa meter aku berjalan, tatapan mataku berhenti pada beberapa blok lampu didepanku yang ternyata sudah padam. Aisshh, masih pukul berapa ini, Kenapa lampu jalan sudah dimatikan? Sungutku dalam hati. Aku takut-takut melewati blok itu, dan mulai berpikir untuk mempercepat langkah.
                “Ya, Kim Nabi!” Terdengar teriakan dibelakangku. Langkahku terhenti. Sepertinya aku mengenali suara itu. Tapi tidak ingin mengambil resiko, setelah mempersiapkan kuda-kuda aku menoleh takut-takut. Yang pertama tampak adalah rambut pink-nya. Mataku lalu bergerak kebawah mengamati. Pundakku melemas lega, tangan pria itu melambai liar padaku. Luhan.
                “Fiuhh, aku kira kau preman” Jawabku sambil berbalik dan berlari kearahnya. Luhan bergerak maju, tangannya terentang mengisyaratkan pelukan. Akupun membalas pelukannya hangat. Pasti dia sangat merindukanku. Tampak dari matanya.
                “Kau kemana saja, atau sudah lupa denganku?” Luhan memberondongku dengan tatapan ingin tahunya. Aku menepuk pundaknya tanpa berkata apa-apa. Kulepas pelukannya. Masih ingin menatapnya lama-lama. Ketika air mukanya berubah galau, baru kujawab pertanyaanya.
                “Eeey, jangan bergitu. Masak aku bisa lupa dengan sahabatku sendiri” Melemparnya dengan senyuman innocent-ku. Luhan adalah sahabatku semenjak di Junior School. Dulunya kami preman sekolah. Memalak anak-anak culun disekolah, bolos saat jam pelajaran, dan melakukan semua hal yang dilarang di peraturan sekolah. Sayangnya kami masuk di SMA yang berbeda. Dan ditambah lagi aku yang kemudian pensiun karena tuntutan seseorang. Wajahku sumringah ketika membayangkan sosok seseorang itu.
                “Tapi tunggu . .” Aku melihat sahabatku itu dari kepala sampai kaki. Penampilannya masih tampak seperti bad boy. Ah, dia tidak pernah berubah. “Luhan, kau harus segera menyusulku, jadi pria baik-baik itu lebih menyenangkan” aku mencibirnya. Pria itu tersenyum kemudian mengangkat tangannya untuk mengacak-acak rambutku. “Tidak akan, aku tidak akan menjadi lemah sepertimu. Mana pacarmu itu? Pria macam apa membiarkan pacarnya pulang malam sendirian.” Dia berganti mencibir.
                Aku tertawa mendengar ucapannya. “Aku ini kan mantan preman, siapa yang berani menggangguku?” Jawabku sambil meninju perutnya. Luhan pura-pura meringis. “Benarkah? Pasti kemampuanmu sudah berkurang. Kau kan sudah tidak pernah berkelahi” Luhan menatapku dengan kasihan. Aku mendengus mendengar ucapannya. Dia menantangku. Lihat saja apa dia bisa mengalahkanku.
                “Baiklah, bagaimana kalau kita coba?” aku menantangnya duel. Matanya melebar mendengar ajakanku. Kemudian sorot lembut muncul lagi di sepasang mata bulatnya. Bibirnya terangkat, tersenyum. Luhan tidak menjawab, tapi langsung mengepalkan tangan. Tanda dia sudah bersiap. Tinjuku melayang padanya. Kagetnya aku, ketika Luhan dengan mudahnya menangkap tanganku dan mendorongku mundur sampai punggungku terhenti disebuah tembok sebuah toko. Aku terperangkap di kedua lengan kuatnya. Senyumnya menggangguku. Walaupun jujur itu membuatnya tampak lebih cute.
                “Nabi-ya, sepertinya ability-mu bukan hanya berkurang tapi sudah hilang” Bibir Luhan mulai mengeluarkan ejekan mautnya. Aku balas menatapnya dengan senyum getir. Berusaha menahan kuat tangannya. Untung saja lorong ini sepi, kalau tidak pasti orang-orang sudah ramai. Dan mungkin nasib Luhan sudah berakhir di tangan mereka yang tidak tahu apa-apa. “Ya! Kau sudah banyak berubah ternyata. Kalau aku menyerah bagaimana kalau kau mentraktir-ku makan ice cream” Sepertinya mengalah lebih baik, daripada harus menjadi bahan ejekannya. Setidaknya menyelamatkan harga diri, dan tentu saja lebih menguntungkan. Pikirku dalam hati.
                “Kau menyerah? Ckck benar-benar bukan kebiasaanmu.” Luhan tertawa dengan tawaranku. Aku tersenyum malu-malu padanya. Wajahku lalu berubah memelas. “Kau mau tidak, cepatlah kedai ice creamnya sebentar lagi tutup” Aku mengujinya. Dalam hitungan ketiga pasti dia akan melepaskanku. Aku sangat tahu weakness-nya. Dan sel otakku belum sempat menghitung ketika . .
                “Ya! Lepaskan dia!” Terdengar teriakan membahana. Refleks aku dan Luhan menoleh bersamaan. Mataku melebar melihat siapa yang tengah berteriak pada kami. Sedangkan ekspresi Luhan berubah jadi aneh. Dahi mulusnya mengerut. Genggaman kuatnya terlepas tanpa sadar. Pria berseragam sama dengan yang kupakai berdiri tak jauh dari kami. Napasnya memburu seperti habis lomba lari. Matanya yang tajam membuatku merinding. Aku bergidik melihatnya. Dan aku tahu dengan pasti siapa pria itu. 
Tanpa bisa dicegah pria itu berlari menghampiriku. Menarik Luhan menjauh dari tubuhku. Aku masih melongo dengan semua tindakannya. Hantaman tangannya menyapu wajah Luhan. Bibir mungilnya kini berdarah. Dorongan kasarnya tadi membuat Luhan jatuh ditanah. Kurasakan tangannya yang gemetar meraih tanganku kemudian menarikku menjauh, meninggalkan Luhan yang masih terduduk ditanah. Genggaman tangannya terlalu erat membuatku tersaruk-saruk menyamakan langkahnya. Tapi pikiranku masih terpaku pada Luhan. Apa dia baik-baik saja?
                “Jongin-a berhenti, kumohon” aku memelas padanya. Tapi dia seperti tuli. Jangankan menghentikan langkah, menoleh pun tidak. “Tidak akan, sebelum kita aman dari preman sialan itu.” Jawabnya dengan suara parau. Preman sialan? Dia benar-benar sudah salah paham.
                “Kai! Dengarkan aku. Kim Jongin!” tanganku menghempaskan tangannya. Aku berhenti dan tentu saja membuatnya ikut berhenti. Matanya menatapku bertanya. Bibirku tak mengeluarkan suara. Mataku yang berkaca-kaca membuatnya iba. Tubuhnya berbalik kemudian memelukku. Aku menangis dipundaknya. Tangan kanannya yang bebas mengelus punggungku menenangkan. Aku tahu dia sangat khawatir.
                “Kau tidak apa-apa? Jangan menangis, kau aman sekarang” Suaranya membuatku melembut. Salah paham ini harus diluruskan. Memang bukan sepenuhnya salah Kai. Aku lupa dengan penampilan Luhan. Situasi juga yang memperkuatnya.  
                “Bodoh, aman apa maksudmu?” Aku melepaskan pelukanku untuk melihat wajah khawatir Kai. Dia memang pacarku, tapi aku sedikit menahan tawa mengingat sikapnya yang sedikit berlebihan tadi. Tanganku merapikan rambutnya yang berantakan. Dan tidak sengaja terlihat luka mengering didahi kirinya. Kai mengaduh ketika luka itu kutekan. Sekarang wajahku yang berubah khawatir. Lalu kudengar penjelasan singkat dari mulutnya.
                “Hanya luka sedikit, yang penting sekarang kau sudah bersamaku. Tapi kenapa kau mengataiku bodoh?” Kai bertanya-tanya. Tangannya masih memelukku. Aku melepas pelukannya kemudian mengajaknya duduk. Teras toko sepertinya lumayan nyaman.
                “Kau tahu tidak siapa pria tadi?” Aku bertanya padanya sambil mengeluarkan tissue dari saku seragamku. Jariku membersihkan luka didahinya. “Sudah pasti dia preman, kau tidak lihat penampilannya” tandasnya yakin. Aku tertawa mendengar jawabannya. “kenapa malah tertawa?” Tangan hangatnya menghentikan tanganku. Matanya tak mengindahkanku, pura-pura marah. Aku lalu menjelaskan padanya. Siapa Luhan dan apa yang terjadi tadi itu bukan acara palak-memalak atau apapun seperti yang dia pikirkan. Akupun menceritakan dari awal pertemuan dadakanku dengan Luhan.
                “Aku tahu kau pasti berbohong, sahabat macam apa sampai seperti itu” Jawabnya berkilah berusaha mematahkan penjelasanku. Aku mendekat kemudian bersandar dibahunya. Menyadari perubahan sikapku, kerasnya mencair. Kai membetulkan posisi duduknya. Sedikit merendah, membuatku nyaman dengan tinggi tubuhnya yang sedikit tidak manusiawi.
               “Kau ini memang bodoh, kalau dia memang preman pasti dia sudah membalas pukulanmu” Suaraku menyentaknya. Kai terdiam menimbang-nimbang penjelasanku. Kepalanya menggeleng tak percaya “Benar dia sahabatmu?” Tanyanya lagi meyakinkan. Aku mengangguk dibahunya. Terdengar desahan keluar dari bibirnya. “Kenapa?” Aku menoleh padanya lagi. “Aku sudah terlanjur bangga karena sudah menyelamatkanmu dengan tanganku sendiri. Ah, sial!” ketusnya. “Kau harus minta maaf” Jawabku menanggapi. Kulihat dia meringis kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dia malu, aku sudah hapal dengan sikapnya. Aku menepuk pundaknya sambil tersenyum. Kukirimkan sinyal *tidak apa-apa* lewat tanganku.
Aku mengeluarkan ponsel dari tasku, kemudian menunjukkan nomor telepon Luhan. Kai berdecak melihat sikapku. Matanya menatapku. Mengirim pesan telepati berisi “Jangan ketuk yang warna merah”. Aku memang berniat menelepon Luhan. Tangan jahilku menekan tombol dial, lalu menyerahkan ponselku padanya. Tangannya mengembalikan ponsel android itu di pangkuanku.
                “Halo” terdengar suara Luhan dari seberang.
                “Luhan-a, ini aku. Maaf untuk kejadian tadi. Kau baik-baik saja kan?” tanyaku basa-basi. Kai terlihat masih tidak percaya dengan apa yang kulakukan. “Tentu, aku baik-baik saja. Tapi pria tadi siapa? Temanmu?” Berondong Luhan ditelingaku. Aku tertawa kemudian menjawab, “No, he’s my boyfriend you know? Aku bersamanya sekarang. Dia ingin minta maaf padamu. Bicaralah dengannya.” Tanganku menyerahkan paksa ponselku pada Kai. Tangannya menerima ponselku dengan ragu-ragu kemudian kudengar dia mulai bicara pada Luhan. Entah bicara apa, aku juga tidak ingin menguping. Aku memandangnya puas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar