Kamis, 13 Juni 2013

Time Machine (Part 6) -- Blue Feeling

“Perjalanan nostalgia kita akan berakhir sebentar lagi, tinggal dua orang sebagai cerita penutupan” Ninri mengayun-ayunkan kepalanya ceria. Yang lain hanya bertepuk-tepuk sambil menatap ekspresi kosong Sora.
Tak pernah tau rasanya waktu diputar dan berputar. Seolah hanya cahaya yang mempermainkan kedua mata. Dari cahaya kekuningan, putih transparan lantas menjadi senja. Begitu yang dirasakan lalu lalang orang dan pelayan didalam café. Orang datang membeli sesuatu kemudian berlalu, entah berapa pengunjung datang dan pergi namun cuma satu meja itu saja, satu meja dengan segala cerita, imajinasi dan canda yang tak pernah pergi. Dan sekarang datanglah sang malam. Pengunjung mulai habis.
“Hm?” Sora tertegun kemudian tersadar “Oh..sekarang giliranku. Entah kenapa ada nuansa aneh disekelilingku. Mungkin waktu sudah mulai malam” Cengirnya.
Lima foto sudah hilang dari atas meja, dengan sedikit waspada wanita berkulit langsat itu mulai berdeham kemudian mengambil salah satu dari yang paling bawah dan paling terselip. Memperlihatkannya terlebih dahulu kepada keenam rekannya.
“Owhh…..”
Tak satu orang pun berkomentar panjang. Ia penasaran lalu melihatnya sendiri. Wajahnya melukiskan sesuatu yang absurd, entah karena sedih atau malah bahagia. Satu kondisi dimana Sora mendapat ‘blue feeling’, marah sejadi-jadinya dan air mata tumpah.
“Hya, kau yang mengambil foto ini” Menunjuk Nara dengan gayanya yang khas preman membuat gadis mungil itu tersenyum geli.
Sedikit bingung untuk memulai ceritanya, matanya mulai berputar melihat suasana temaram. Menghela nafas sejenak. Menaikkan poninya. Berpura-pura menghitung para pelayan yang tanpa interaksi. Bola matanya tertuju pada salah satu pelayan dengan tubuh tegap berhidung paling mancung diantara yang lain, sekan menarik perhatiannya, menyunggingkan senyum kepada pelayan yang tak menatapnya. Seperti menarik saja bagi Sora ketika melihat pelayan itu disibukkan dengan botol-botol wine didepannya.
Rekannya mulai mengantisipasi gerakan Sora yang tiba-tiba berdiri dari kursinya. Berjalan kearah pelayan dibalik meja bar. Membiarkan mereka bercakap satu menit, pria itu mengangguk, menaikkan kedua alis tebalnya lalu menggeleng perlahan. Memikirkan sesuatu. Sora memainkan rambut berkembangnya, memutar gelas-gelas kaca tepat didepannya. Sedikit menggoda. Diakhiri dengan kata sepakat. Tapi begitulah Sora dengan ciri adaptasi dan persuasi yang baik. Tak lama tangan kanannya kembali bersama sebotol wine. Sora si biang modus.
*****
“Emm..mianhae” Suaranya berdengung ditelinga sosok tegar, Sora. Bibirnya menciut, tas Puma kesayangan yang Ia jinjing dihempaskan begitu saja di tengah lorong. Botol minumnya keluar dari sisinya.
“Wae? Kenapa kau harus kembali?” Ada rasa penasaran dalam diri Sora. Pria dengan balutan seragam dengan warna berbeda itu mulai melangkah mundur. Bergegas mengambil ancang-ancang terkena hujatan dari gadisnya.
“Aku menyesal meninggalkan dan menyakitimu yang dulu sangat tulus… “
“Arraseo..” Sora bergegas memotong pembicaraan dengan angkuhnya. Matanya menatap sendu mata Key yang mulai kebingungan mencari alasan. Ia sudah tegar menghadapi hal macam ini, hal-hal menyakitkan yang pernah ia tempuh seperti bergonta ganti pasangan, menyakiti seenaknya tapi ia melakukannya karena hal ini. Karena alasan masa lalu yang membuatnya menjadi liar. Membeku dan menghancur seperti abu. Hatinya. Seperti tinjuan keras di ulu hatinya.
Diwaktu itu juga, mereka tidak hanya berdua tapi bertiga. Istilah tembokpun bisa mendengar telah terjadi diposisi Eric. Seperti adegan –adegan difilm romantis, ketika orang yang menarik perhatianmu sedang berdiri membelakangi pintu dan kau dibaliknya. Entah sejak kapan si rapper itu berada disitu, yang jelas sekarang dia hanya memandangi cermin-cermin yang memantulkan dirinya dengan mata kosong sambil menguping pembicaraan mereka.
“Kau tau, aku mengalami perubahan setelah pengkhianatan yang kau lakukan. Masaku sekarang bukan lagi gadis baik-baik dan lugu dengan segala kelembutan yang kupunya. Hampir tiga tahun aku memperlakukan laki-laki seperti anjing pesuruh” Pancaran matanya penuh rasa sakit. “Bagaimana caraku membangun itu semua? Kau tau? Dengan membencimu aku menjadi kuat, dengan tidak lagi mencintaimu aku menjadi menang dan dengan tidak memaafkanmu aku menjadi seperti sekarang. Kim Sora!”
Seperti dihujam pedang, segala maaf dan kegentle-an Key menjadi ampas. Sora layaknya mayat berhenti bernafas, berusaha menahan air mata. Sesak. Laki-laki didepannya adalah laki-laki pertama yang mengenalkan dia tentang cinta dan pengkhianatan. Pria pertama yang menjadi kekasihnya, yang paling ia sayang, kesedihan yang ia rasakan seakan melayang, kesenangan yang menjelma menjadi kayangan saat bersama Key.
Ketegangan yang mereka alami dirasakan juga oleh Eric. Dari yang hanya sekedar duduk hingga tubuhnya yang sekarang hampir terhentak. Meresapi setiap kata yang dihunuskan Sora kepada Key. Dia kehabisan kata.
“Sekarang, apa pembelaanmu?” Sinis gadis itu.
“K..kau sudah berubah. Kemana Kim Sora dengan senyum lebarnya? Perilaku childish yang suka mencari perhatian? Pelukan hangat yang sering aku dapatkan, mimpi yang sering ia ungkapkan”
She is gone. Get lost with her amazing dream. Apa yang kita bangun dulu adalah bualan belaka sekarang. Semuanya tampak seperti debu bagiku. Dan kau hanya halangan kecil yang akan hilang terbawa angin” Senyuman menghina perlahan ia sematkan. “Mianhae, Key oppa…”
Wajah Sora yang tajam perlahan mencair dengan segala kepura-puraan akan perasaan yang masih tersisa. Rasanya ingin memaafkan dan menerimanya kembali. Namun perasaan tersayatnya masih tak ingin berhenti. Masih meronta ingin disembuhkan dengan kejahatan manis sebagai playgirl untuk saat ini. Ada amarah yang benar-benar ingin ia hamburkan keluar, hampir tak tahan dan bengah dengan segala yang menyangkut hati.
Segera ia meraup tas dan botol minumnya. Merampas segala kemarahan dan kesedihannya sementara. Tubuhnya berbalik meninggalkan Key yang memucat. Pintu menjebam didepan wajahnya yang tampan.
“Hya!! Apa yang kau lakukan disini?!” Sontak Sora terlonjak, melihat Eric yang juga terbelalak dengan topi Wolf dibibirnya. Congkak.
“A..aku se..sedang dance practice” Terbata-bata. Gelagatnya mulai konyol setengah ketakutan saat atmosfir berubah menjadi membeku. Mata Sora tak bisa lagi diajak bercanda “Mianhae” Tambah Eric.
Keheningan membuat studio makin aneh. Seakan tanda untuk Eric membuka pembicaraan. Kini Sora mulai menaruh barang-barangnya diujung ruang, menyiapkan dance practicenya sendiri. Memilih-milih kaset yang akan ia putar. Mencoba menyembunyikan perasaannya yang gundah dalam kebisuan.
“Uhm..ehem. Hei bicaralah seperti orang bodoh saja tidak mau bicara. Jika ada masalah bicaralah”
Kepala Sora menegok sekelas kearah Eric. Ada yang semakin membakar emosinya. Diredamnya perlahan. Untuk saat ini membiarkan Sora sendirian adalah hal yang terbaik namun pria nakal itu tak kunjung menghentikan keisengannya. Tak bermaksud memperburuk keadaan hanya saja percakapan kecil mungkin membantu.
“Hei..Sora-ya! Jika diajak orang bicara sopanlah sedikit hargai..isk dasar wanita”
Eric lepas bicara. Sora mendongak kali ini. Kekesalannya membuncah. Menatap wajahnya lekat-lekat, mengerjab lalu mendesah kasar. Langkah kakinya menguat selangkah demi selangkah, mendekati Eric. Didepan matanya yang ada hanya samsak, setiap laki-laki hanyalah samsak. Tangannya mulai menggenggam erat ujung kaosnya, melepasnya kuat-kuat. Dibuangnya ke lantai. Bibir Eric menganga, memerah melihat musuhnya hanya memakai potongan tanktop dan celana pendek. Jadi seperti ini Sora saat latihan. Mata Sora memerah.
“Apa yang kau lihat? Apa yang kau mau dariku? Kenapa kau dilahirkan? Kenapa kita selalu dipertemukan pada saat yang tidak tepat? Bagaimana kau dengan mudahnya menjahili kehidupanku? HAH?? Kenapa kau yang muncul? KENAPA?!!”
Kemarahan itu membuat Eric melemah, baru pertama ia bertemu dengan wanita kasar sekaligus kuat dalam memendam emosinya, dalam bersandiwara, menciptakan scenario untuk panggung hatinya. Luruh sudah jantungnya, merasakan perasaan simpati yang dalam. Tak bermaksud membunuh perasaannya perlahan. Dia tau segala yang membuat Sora seperti ini. Karena pengkhianatan dari orang yang pernah ia cintai dengan tulus.
“Aku membenci, membenci setiap lekuk tubuh laki-laki pengkhianat sepertimu, Laki-laki yang sering bermulut manis, pengecut. Laki-laki yang setiap saat menyibukkan hari-harinya menjahiliku….” Bibir Sora mulai bergetar. Tak ingin mengakui air ini adalah setetes air matanya. Air mata bukan untuk keisengan Eric tapi untuk kekesalan yang lain. Perasaan menolak untuk menerima kembali masa lalunya. Ia masih mengoceh, mengeluarkan segala unek-unek dihatinya. “Laki-laki bernama ERIC MUN bahkan antek-anteknya sekalipun……” Eric terhempas sesaat. Sora kehabisan nafasnya.
Apa yang perlu dilakukan Eric sekarang? Semarah apapun wanita, pelukan adalah cara terbaik yang harus dilakukan.
“Biasanya wanita itu akan menangis sangat kencang, tapi mengapa cuma kau wanita yang menangis hanya setetes. Aneh.” Eric memelukknya erat. Suara paraunya memecah kemarahan. Sora menikmati pelukan itu sebagai sebuah kebodohan.
Sepinya semakin terasa ketika mereka berdua sama-sama termenung, memahami satu sama lain dalam dekapan mencekam yang pernah mereka lakukan. Eric dengan segala rasa bersalahnya , Sora dengan segala hatinya yang sesak.
Pintu studio tiba-tiba terbuka, sosok Nara muncul, masih dengan kameranya yang selalu menggantung dilehernya. Memanggil Sora dengan suaranya yang tinggi. “Soraaaa…..ya~” kemudian nadanya merendah saat melihat adegan yang tak biasa antara dua orang berperangai keras itu. Snap! Lensanya cepat-cepat beradu. Sebelum rekannya menjerit membodohkannya secepat kilat Nara pergi.
“Nara-ya! Kembali kau…!!!”
*****
“Apa yang kau rasakan setelahnya? Kau menyukai Eric kah setelah itu?” pertanyaan godaan mulai muncul dari kepolosan Hyurin sebagai ajang balas dendam.
“Hehe..berakhir dengan personality talentnnya yang waktu itu makin membuatku antara muak dan lumayan mencairkan susana” Sora meletakkan botol winenya yang tinggal setengah. Hampir habis ia tenggak sendirian.
“Jangan bilang dia melakukan performent rap distudio?” Tebak Ji Eun dengan perasaan kaget, tak berusaha melerai sahabatnya yang sedikit mabuk.
“Haha. Jjang!”
*****
Saneun geot Manheun geoseul da pogihae ganeun geot…….. Bokgu halsu eomneun hyujitngeul biwo. Miro Wiro Nal geonjyeojugil gido
Lagu yang ia nyanyikan berhenti dengan pose wajah meyakinkan dan paling keren untuk menghibur Sora yang bad mood. Tapi tetap saja tidak mengubah suasana pertengkaran menjadi persahabatan anatara dua kubu. Yang ada semua barang Eric; tas dan jaketnya diberikan begitu saja.
“Out! Kau bukan dancer jadi pergilah. Cukup sehari ini aku berbaik hati selebihnya jangan harap” datar Sora.
“Hash..baru pertama kali juga aku melihat wanita yang sangat sombong dan tak tau berterima kasih setelelah mendapat pelukan” sekilas Eric mendecak untuk menggoda Sora yang sekarang muncul semburat kemerahan di pipinya yang pucat.
“Pelukanmu itu untuk gadis gadis yang tidak punya akal sehat” Mata Sora mulai melotot dan mengepalkan tinjunya. Eric keluar dengan tampang paling manyun yang pernah ia lihat.
Holding your heart, Sora….berfikirlah kau  masih punya akal sehat.
*****

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar