Minggu, 28 April 2013

Time Machine (Part 4) -- Fashion Runaway

Masih menikmati tatanan cerita yang membuat jantung Venus berdegup parah. Meja membundar duduk melingkar seperti bermain ‘truth and dare’. Pelayan kembali berdatangan mengusik aliran permainan mereka, yang ada pesanan makin menumpuk dimeja. Makanan manis, minuman dingin, makanan utama, makanan penutup semua seakan tersedia dimeja.
“Siapa selanjutnya?” Nara menawari. Matanya menyapu ekspresi teman-teman dihadapannya dengan misterius. Venus mulai menirukan suara drum yang berdebam beriringan sambil menyeringai gemas melirik kearah Ji Eun.
“Ya, aku sadar diri” Ji Eun memutar bola matanya. Menunjuk satu foto, diamati tulisan yang tertera dibelakang foto itu ‘Fashion Runaway’, “Sepertinya aku mengenal istilah ini..” Ia menggapainya, memejamkan matanya sepersekian detik lalu melotot “Oh my god… M style!”.
Minwoo sibuk mengukur lekuk tubuh Hyesung dengan meteran andalannya. Mempersiapkan seragam yang cocok untuk acara ‘Open house Ocean’ dimana acara itu sering diadakan setiap tahunnya untuk menarik perhatian murid-murid baru yang dilakukan dalam sehari penuh. Tiap kelas akan dilombakan atas dasar kreatifitas acara mereka. Pemenang akan dinilai berdasarkan pengunjung yang paling banyak. Fabulous.
“Kelas desain akan mengadakan apa waktu hari H?” Tanya Hyesung penasaran.
“Mini café mungkin atau rumah hantu” Minwoo menjawab alakadarnya. Membenamkan diri dibalik kain-kain yang berserakan. Berkonsentrasi. Memadu-madankan setiap warna, tak lepas dari pensil ukur yang menyangkut ditelinganya.
“Konsep rumah hantu sudah menjadi tradisi kelas drama”
Fashion show identik dengan kelasku, itu konsep yang bagus”
“Tapi anak SMP tidak akan memakai pakaian seperti di fashion show-kan?” Masih cerewet dengan pendapatnya. Minwoo mulai kesal.
“Ya! Kelasku sibuk memfasilitasi kalian dengan kostum yang aneh-aneh sampai tidak ingat bahwa kelasku juga harus ikut acara open house!”
Hyesung merinding melihat wajah Minwoo yang superdatar, “Mianhae”.
Just shut up
Hyesung diam seketika. Teman sensitifnya kembali bergerumun dengan meteran dan jarum pentul yang kini ditusukkan ke calon baju Hyesung. Alih alih Hyesung yang hening kini mulai mencoba bermain-main dengan benda-benda sekitar. Mengurangi rasa bosan. Menusuk-nusuk manekin, memakai topi bulu-bulu yang ada didepannya, ia menengok kanan kiri memandangi aksesoris aksesoris yang ada dikelas desain. Pemuda berponi itu mulai tertarik pada sebuah kotak berwarna merah marun disebelahnya terdapat pita lucu diatas penutup lalu ia mendekati. Dijulurkan tangannya kemudian dibuka. Didalamnya terlihat syal bercorak garis-garis biru dan merah jambu, ada inisial M dipaling ujung. Hyesung menariknya.
Brak..brak..brak secepat kilat ada yang menyeret segala benda ditangan Hyesung. Minwoo dihadapannya, mendelik kearahnya. Tamatlah riwayat Hyesung.
“Wae?!”
“Jangan sentuh atau kostummu yang elegan akan jadi kostum babi” ujar Minwoo datar. Masih memicingkan matanya. Pipinya semburat kemerahan. Lantas meninggalkan Hyesung yang terperangah.
“A…ada apa dengannya hari ini”
*****
Kotak merah marun itu masih dibawanya kemana-mana. Berputar-putar didepan kelas musik. Perasaan kesal dan was-was menyelimuti. Rasanya jengkel dan malu, ada yang aneh dengan dirinya. Bersikap acuh pada ketua OSIS tadi membuatnya sedikit lega. Mimiknya bingung, mengintip sesuatu diruang kelas yang masih sibuk. 10 menit menunggu, bel istirahat berdering kencang. Seluruh murid menghambur keluar. Muncul sosok yang ia tunggu-tunggu. Pemuda tegap dengan senyum yang cemerlang, memanggul gitarnya dipunggung. Sang gitaris. Junjin, keluar kelas.
Mimik Minwoo langsung berubah ceria, tubuhnya melaju kearah temannya itu. Ia mendorong dengan tergesa-gesa. Junjin terkesiap lalu melangkah mundur masuk keruang kelas lagi. 
“Jinnie-ya, buatkan aku surat cinta” desaknya.
“Hah? Apa kau sudah gila, sejak kapan….”
“Ssstt….jangan keras-keras. Ini aku membuatnya dengan sepenuh hati” Minwoo membungkam mulut Junjin yang kebingungan. Menyodorkan kotak merah marun berisi syal buatannya.
“Huwoo, kyopta!”
“Bantu aku menaruhnya di loker Jessica”
Rencana gila sudah mulai tersusun secara sistematis diotak Minwoo kala itu. Cintanya ada pada Jessica, gadis dari kelas tari. Ia menyukai gadis itu sejak penampilan tarinya yang memukau ditiap acara festival tari antar sekolah yang diadakan setiap tahun. Minwoo sering mengajukan diri untuk menjadi wardrobe jika kelas tari ikut lomba demi melihat Jessica. Dan sekarang Minwoo memberanikan diri untuk memberi hadiah kecil. Secret admirer.
“Aish…Jinjja? Jessica?” Junjin terlihat shock melihat temannya yang serius.
“Jebal…..”
“Haha pria ini..” Junjin tertawa geli dengan hujatannya yang khas “Kapan beraksi?”
“Nanti siang. Tapi aku tidak tau dimana loker Jessica?”
“Jjang! Sampai ketemu nanti siang, aku harus bertemu klien dulu” melenggang keluar kelas dengan keangkuhan seperti biasa.
“Eyyy…tunggu dulu!!! Jinnie-a!!” teriaknya.
Jinjin melambai dalam diam lalu menghilang dibalik kerumunan murid-murid lalu lalang.
*****
Istirahat kedua. Pukul 12.00. Status lorong loker semi-aman. Junjin meneropong dari sudut-sudut gang tempat ia dan Minwoo bersembunyi. Sudah siap dengan segala hadiah segenap hati yang dibawa sahabat galaunya itu. Junjin sedikit mendesah.
“Aigo..perbuatan apa ini”
“Sudahlah, ini akan menjadi kenangan masa SMA” Statement Minwoo membuat Junjin semakin khawatir.
Sebentar-sebentar mereka berdua menghembuskan nafas panjang, berakting seolah-olah sedang mengobrol jika ada murid yang lewat kemudian bersembunyi lalu menengok lagi.
“Hei, bukankan loker itu selalu dikunci?” Pertanyaan paling dasar muncul dari bibir Minwoo. Rencana yang matang digoyahkan oleh masalah kunci. Hampir putus asa atas kesadarannya itu. Junjin menoleh kearahnya. Merogoh sesuatu dari dalam sakunya.
“Cha-chang!!!” Sebuah kunci digenggam erat oleh jari-jari Junjin. Mata Junjin menyipit, tawanya menyeruak lebar hingga barisan giginya yang putih terlihat jelas.
“HUWOOO…..Daebak!!”
Minwoo seperti anak kecil dihadiahi permen. Memeluk kawannya itu dengan erat sambil melompat-lompat. Senyumnya benar-benar mengembang melihat kecerdasan Junjin. Tak henti-hentinya mendewakan kunci itu.
Misi dimulai. Langkah kaki si gitaris tampan mengendap-endap. Layaknya agen rahasia, matanya melirik kekanan dan kekiri tanpa ekspresi. Menggotong sebuah kotak merah marun. Mulut Minwoo komat-kamit tak karuan menelaah tingkah temannya yang berlebihan. Ada sedikit rasa tak yakin mempercayakan semua pada Junjin. Firasat aneh, gambaran akan kotak itu tak tersampaikan pada yang dituju, tapi ditepisnya begitu saja lantaran saat ini hanya wajah cantik Jessica yang terpampang dipikirannya. Pasti dia akan sangat bahagia saat mengetahui bahwa ada hadiah didalam lokernya.

Kotak-kotak berwarna biru itu diam ditempatnya. Bernomor-nomor membuat mata Junjin sedikit samar. Mulai menghitung dan memastikan nomor 20J adalah milik Jessica. Lubang kunci penuh dengan kuncinya. Suara cklak terasa nyaring ditelinga Junjin. Pintu loker terbuka. Dia sedikit meng-huwoo ketika melihat isi loker syarat akan beberapa peralatan merajut dan kancing-kancing berbagai ukuran. Sejak kapan Jessica suka merajut, pikirnya. Masa bodoh dengan pikirannya, ia cepat-cepat meletakkan barang itu ditengah-tengah. Mendengar ada suara tapak kaki yang datang, buru-buru ia menutup kembali pintu loker, menguncinya dengan rapat lantas belari cepat menghampiri kawannya yang sudah was-was dipojokan gang.
“Bingo! Berhasil ayo pergi-pergi”
Dongwan dan Ji Eun muncul mendekati ruang loker. Bercengkramah ria, sama-sama menikmati roti keju digenggaman. Yang membedakan hanyalah apa yang mereka genggam ditangan satunya. Ji Eun dengan gulungan kertas gambarnya dan Dongwan dengan kamera poket menggantung dilengan kirinya. Berhenti sejenak didepan loker Ji Eun.
Dresscode kelas fotografi harus semenarik mungkin, warnanya yang cerah. Kita akan membuat studio besar-besaran untuk murid-murid yang berdatangan” pinta laki-laki yang tak terlalu tinggi itu.
“Iya, akanku usahakan. Acara seperti ini selalu melibatkan kelas desain otomatis order-an dresscode akan menumpuk” mengambil kunci loker dari dalam saku, “Kita hanya konseptor, jika kurang tenaga kelasku sering meminta tukang jahit dari luar untuk membantu” tambahnya.
“Lantas, kelas desain akan membuat acara seperti apa?”
Sambil mencari jawaban, Ji Eun mencoba untuk membuka kotak lokernya, “Emm…fashion show mungkin. OMO!”. Sebuah kotak merah marun menyembul dari dalam lokernya.
Dongwan ikut-ikutan kaget, menengok kearah yang sama dengan apa yang di lihat Ji Eun. Roti keju dan kertas gambarnya dimasukkan begitu saja didalam pinggiran ruang kosong lokernya. Kotak merah marun berpita cream diatas kedua tangannya. Mulut Ji Eun dan Dongwan seketika menganga. Saling menatap satu sama lain kemudian menyorot kotak itu. Yang ada dibenak gadis itu ialah siapa dan kenapa sedangkan di benak Dongwan adalah hot news.
“Ini akan menjadi berita dimadingku” celetuk Dongwan. Detik berikutnya bidikan lensa kamera menangkap benda kotak itu. Jepret!
Tak menggubris jepretan Dongwan, ia segera membuka kotak misterius itu. Makin terperanjat saat tau isinya adalah syal berinisial M. Ditutupnya cepat-cepat, berkedip si Ji Eun tak percaya. Mengambil roti kejunya, membanting pintu loker keras-keras. Tanpa bicara ia melarikan diri meninggalkan Dongwan, memboyong kotak itu.
*****
Yang ada dihadapan Ji Eun saat itu cuma Hyurin. Cuma Hyurin yang setiap istirahat sering mengunjungi perpus dan entah kenapa kakinya berbelok masuk ke perpustakaan hanya karena tampak sosok Hyurin dari dalam.
“EONNIE!!!!!!”
Dari arah berlawanan Hyurin yang sedang serius membaca buku seketika terusik dengan teriakan melengking begitu juga pengunjung perpus yang lain. Alhasil suara teguran dan cibiran keras datang menghujanni Ji Eun. Dia hanya terkekeh malu, “Mianhae…mianhae” kemudian mendekati Hyurin dengan bersemangat.
“Hyurin-a lihat ini. Ini syal dengan inisial M diberikan padaku, diletakkan dilokerku. Kyaa! Pasti dari Minhyuk oppa”
“Ah, Jinjja? Si drummer Minhyuk? Kelas musik? Huwoo akhirnya setelah sekian lama, kau yang selalu menguntitnya. Selalu membicarakannya dibelakang. Aku pikir akan bertepuk sebelah tangan” Kala itu Hyurin berhasrat untuk menggoda.
“Eyyy…jangan begitu. Aku sudah mendengar gossip, katanya dia memang diam diam suka padaku”
“Hehe beruntung sekali”
Sejenak kegembiraan absurd terpancar dalam diri Ji Eun. Mengumbar senyum-senyum sendiri sambil memandangi syal itu. Mengusap-usap simbol M yang melekat diserat-serat kainnya. Anehnya, tak ada bayangan Minhyuk yang terlintas dirajutan panjang itu. Hanya sekedar ucapan biasa yang terlontar dari mulut gadis berambut gelombang itu. Benarkah Minhyuk? Atau Min Min yang lain?
*****
Malamnya, gadis yang baru mendapat hadiah tadi benar-benar tahu cara menghibur diri. Berjalan-jalan ditaman. Syal yang dianggapnya dari Minhyuk sudah menggulung dilehernya. Berbalut mantel merah tebal menghangatkan seluruh badannya. Sepasang sepatu boot berhak tinggi ditambah sarung tangan garis-garis yang match dengan syal barunya menambah aksen kehangatan. Sekedar mencari inspirasi, berkeliling menghirup udara segar dalam kesendirian. Kebiasaan yang sulit dihilangkan dalam diri Ji Eun.
Masih terperangkap dalam lamunannya. Sesekali ia menyentuh syal itu, berkali-kali mencium lalu mendekap syal yang dipakainya erat-erat. Oppa…perasaan apa ini. Duduklah ia disalah satu bangku taman, membelakangi air mancur. Menatap bintang seraya mengkreasikan bayangannya
Sejak kapan Minhyuk oppa suka merajut? Bahkan saat berbicara denganku yang sering dibahas adalah tidak jauh dari drum dan sticknya. Bagaimana mungkin? Atau dia diam-diam memperhatikanku, ah…ottoke >.<

Guk..gukslurp slurp

“HYAAA..!” Gonggongan beserta jilatan anjing merampas imajinasi romantis Ji Eun.
Anjing mungil berbulu putih bersih mendandak beratraksi manis-manis dihadapannya. Menatapnya dengan sorotan lemah lembut menggemaskan. Menarik perhatian Ji Eun.
“Kyopta, lebat sekali bulunya. Lembut dan mengembang seperti gula-gula. Apa yang membuatmu kemari?”
Digendongnya anjing itu. Diletakkan dipangkuannya. Tangan Ji Eun menggapai-gapai perutnya menggelitiknya lembut. Kelingkingnya menyentuh sesuatu. Kalung bertuliskan ‘Poly’ tercetak digantungannya. Semakin gemas, Poly dimain-mainkan.
“Hai, Poly-ssi hehe”
Poly makin manja. Menggelayut-gelayut dalam dekapan. Ji Eun dianggap seperti majikannya. Tidak semua anjing jika bertemu orang asing langsung mengakrab seperti ini. Moncong hidungnya mendengus-dengus, Ditarik-tarik syal Ji Eun hingga lepas. Menyelundup kemudian menggulungkan diri didalamnya. Kedinginan. Merasa tak tega, ia mengalungkan syal itu sambil membelainya dengan lembut.
“Jika kau suka pakailah, aku selalu merasa tak tega jika tau anak anjing sepertimu tersesat seperti ini. Siapa pemilikmu? Laki-laki atau perempuan?”
Poly hanya menunjukkan matanya yang bulat lalu menggonggong pelan,
“Jika laki-laki dan itu tampannya mengalahkan Minhyuk, aku berharap aku akan berjodoh dengannya. Jika itu perempuan akan ku jadikan saudara haha seperti sayembara saja”
Kali ini, Poly menyalak kencang sambil menggigit syal itu. Ji Eun tersentak. Tiba-tiba Poly melompat, berlari masuk kesemak-semak.
“POLY!!! POLY kembali…” Poly lenyap melarikan syal Ji Eun, “Ahh..Jinjja. Syal Minhyuk oppa…” nadanya melemah.
*****
“POLY-a kemana saja. Pabo-ya!” Pemuda berkacamata itu mengerang. Kedua tangannya merengkuh anjing kesayangan yang muncul dari semak-semak. Memukul-mukul punggungnya pelan. Diangkatnya sebentar lalu didudukkan diaspal jalanan taman. Telapaknya memegang sesuatu.
“Ini milik siapa?” Mengambil syal itu dari leher Poly. Meraba setiap inci kain bergaris itu. Minwoo terhenyak. Menatap benda itu masih utuh dengan warna yang tidak asing dimata. Masih terasa sentuhan kecil saat ia merajut simbol namanya diujung. ‘M’.
“Kau habis bertemu Jessicakah, Poly?” Berbicara dengan hewan itu. Kepala Poly menggeleng seakan mengerti maksudnya. Mengibaskan ekornya lantas menyalak lalu menggigit sepatu Minwoo dengan geraman. Bermaksud mengarahkan majikannya kepada si pemberi syal itu.
Pemuda itu mengerti maksud peliharaannya. Dengan syal digenggaman ia mengikuti langkah makhluk itu, menerabas semak belukar. Ranting-rantingnya menancap dirambutnya yang acak-acakkan. Dedaunan menempel disisi-sisi jaket beludru hitamnya. Dari semak-semak ia menerawang ada air mancur ditengah-tengah taman. Sepi.
Ia mendengus kesal, “Jangan permainkan aku Poly!”, Poly kini berlari lalu duduk sambil melompat-lompat ditempat ia bertemu Ji Eun yang telah lenyap.
*****

Minggu, 21 April 2013

Time Machine (Part 3) -- Benang Merah

“Aku memilihmu, wahai engkau si baju kuning sebersinar mentari, seceria pagi menyambut jagat raya. Choi Ninri!!”
Matanya menyipit, mulutnya terbuka ceria berakting manis manis. Diraupnya satu foto—
Here we go----
*****
Seketika mulut Ninri membentuk huruf O kecil sembari berteriak “Astaga…inikan” dipandanginya foto yang ia ambil lekat-lekat. Matanya bersinar, ada sesuatu yang membuka rahasia yang pernah ia temukan.
“Ce-rita! Ce-rita!” Semua tangan bertepuk-tepuk. Sorakkan demi sorakan datang dari teman-temannya yang duduk melingkar dengan ekspresi penasaran.
Foto itu benar-benar menggelikan. Diambil Nara dalam sebuah toko peralatan musik. Tampak angle dari belakang saat itu. Dikelilingi oleh pajangan dinding berbagai model gitar dan beragam warna-warni senar, dihadapkan pada sosok penjaga toko dengan kumis kecil, tampang cerah menatap mesin kasir. Junjin memandangi Ninri dengan dingin, tangan kanan menjulurkan sejumlah uang dengan tampang angkuh seakan enggan untuk memberikan uangnya. Ninri dengan ekspresi ‘mong-nya’ menoleh kaget setengah kagum.
Tapi, bukan itu yang menjadi fokus Ninri dalam foto itu namun apa yang dipegang Junjin ditangan kirinya. Iya, ditangan kirinya, benda kecil meragukan. Benda kecil yang tak sengaja tersimpan.
*****
“Aku bingung, aku ingin warna senar yang terlihat lucu, tidak hanya itu-itu saja tapi warna apa ya enaknya, yang pantas untukku…” Galau gadis lugu itu, “….aku ingin tampil lebih berwarna” Lanjutnya.
“Imagemu ceria tapi disisi lain kadang aku melihat dirimu berwujud seperti Lady Rocker hmm….bagaimana kalau merah atau biru muda yang segar-segar dan tampak kontras dimata” Nara mencoba memberi saran.
Si yang disebut-sebut Lady rocker ini manggut-manggut tanpa henti, menggoyangkan seluruh tatanan rambut kuncir kudanya. Nara hanya berusaha mengerti keadaan temannya yang bingung. Masih tak lepas dari jeratan kamera yang selalu dibawa kemana-mana. Mereka hanya berjalan berputar-putar selama satu setengah jam mengelilingi kompleks pertokoan alat musik dan belum ada yang cocok untuk dinaungi bahkan hanya sekedar masuk atau bertanya-tanya.
Karena lelah mereka memutuskan untuk sekedar duduk di bangku pinggir jalan sambil meneguk sekaleng jus anggur dingin dari mesin minuman terdekat. Dua orang seperti terlantar ditengah kompleks pertokoan. Menengok kekanan dan kekiri. Kala itu malam, sekitar pukul delapan lebih. Tengah kota tampak ramai, aroma buah, spicy milik daging asap yang dipanggang dan roti manis semerbak bertebaran dijalanan tertib. Padahal jalan tertib yang artinya tidak boleh ada hambatan dijalan itu tapi aroma jajanan pinggir jalan masih menggelitik hidung keduanya. Kadang peraturan memang untuk dilanggar sekali-kali.
“Ninri-ya, sampai kapan kita hanya berkeliling – keliling begini. Sementara disekitar kita banyak jajanan yang menggoda” Tatapan lensa Nara mengarah pada gerobak bertuliskan ‘Sweet Apple’. Satu jepretan khusus untuk satu tusuk apel merah berlilitkan coklat mengkilat yang digenggam oleh pemuda memakai mantel coklat pula, “Ah lezatnya..hanya bisa memotret saja”.
“Kenapa tidak beli?”
“Hehe, tak ada jatah jajan dihari Senin. Mahagalaunya anak SMA”
Ninri hening saat itu, tak menggubris keluhan Nara. Bukan karena tak ingin membelikan, melainkan penasaran pada sebuah  toko tepat dihadapannya. Toko kecil bernuansa klasik. Terpampang gantungan-gantungan aksesoris dan beberapa perabotan musik yang menarik perhatiannya.
“Ayo, masuk kesitu” tunjuknya.
“Hmm…boleh”
*****
 “Yakin memilih warna-warna itu?” Lirikan mata Nara seakan tak puas pada pilihan sobat galaunya.
“Ehm..entahlah” Memilin-milin senar yang terjajar rapi didepannya. Hitam, Merah marun, Emas dan Biru muda.
“Aku tinggal hunting ya, ada biola lucu disebrang sana” Nara berlari kecil meninggalkan Ninri yang sibuk menimbang. Tak lama dari jauh sudah terdengar snaping-an kamera Nara. Gadis yang kini sendirian hanya menghembuskan nafas panjang.
Aneh kah jika warna senarku tampak mencolok sendiri sedangkan anggota lain berwarna normal? Tapi ini penyambutan yang meriah bukan? Iya, aku harus berani beda…tapi

“Biru muda” suara yang tak asing menyambar telinga Ninri.
Ninri menoleh perlahan, dilihatnya pemuda tinggi itu, tepat disampingnya. Wajahnya santai dibalut mantel coklat yang menjuntai. Junjin. Produk ciptaan Shinhwa yang lain. Dunia ini dipenuhi orang-orang ini. Ekspresi Ninri seketika hambar.
Bagaimana bisa dia tiba tiba muncul ditempat seperti ini. Mengerikan. Ia bertanya-tanya dalam hati.
“Aku memang memilih ini sejak tadi” berusaha berkilah tanpa menatap mata bulat Junjin lebih lama.  
“Ya sudah, bayar kalau begitu” celetuknya dengan gaya paling arogan.
“Issh, menyebalkan. Selalu saja dipertemukan oleh orang-orang sepertimu. Tidak disekolah ataupun ditempat seperti ini sekalipun”, cibir Ninri kesal, “Pak tolong bungkus yang biru muda”.
Kekesalan Ninri membuahkan kesialan. Dompetnya tampak berbobot waktu dimasukkan dalam tas selempangnya. Dia masih ingat betul ada lima lembar uang yang dimasukkan dalam dompet abu-abunya hanya saja dia setengah ingat saat ditanya oleh otaknya sendiri berapa total nominal yang dia punya. Wajah Ninri mulai memucat karena uang yang dikeluarkannya tidak cukup untuk membeli senar biru muda. Ia mencuri pandang pemuda disebelahnya yang kini berkoar meminta senar hitam dan merah marun dibungkuskan untuknya.
Secepat kilat dia mencari-cari jejak teman hobi potretnya tadi. Matanya menyapu seluruh ruangan berharap menemukan sosok gadis berbaju kuning cerah. Enyah. Tiba-tiba Nara tidak ada dalam toko itu. Dia pasti memutuskan menunggu diluar tanpa memanggil terlebih dahulu. Gawat. Yang ada dipikiran Ninri sekarang adalah efek menanggung malu karena tidak jadi membeli kemudian pergi atau efek menanggung dobel bahkan tripel malu dengan meminjam uang dari musuh. Pikiran ini yang membuat Ninri berkeringat dingin.
Kenapa disaat yang seperti ini. Aigo. Memalukan jika aku meminjam uang darinya….Aish Jinjjaa!!

“Maaf, barangnya jadi dibeli atau tidak?” Pertanyaan meluncur dari si penjual kemudian ia menyodorkan bungkusan kecil kearahnya. Membuyarkan pergolakan pikiran Ninri. Matanya melirik kearah Junjin yang sedang asik memutar-mutar benda kecil ditangan kanannya. Entah apa itu sepertinya tak asing bagi Ninri dalam kesehariannya menyangkut musik.
“A..emm itu…” memutar bola matanya.
Sebelum membatalkan niatnya untuk membeli dengan rasa salting luar biasa, terdengar suara berisik dari sisinya. Mengeluarkan sesuatu lebih cepat dari penglihatannya. Si penjual cukup mengangguk dengan mata berbinar.
“Sekalian sama yang biru muda” Junjin meletakkan sekumpulan uang tepat didepan mata Ninri yang kini hanya bisa bengong melihat pemuda yang membuatnya salah tingkah. Yang dilakukan Junjin seperti Spy yang tiba-tiba tau jika Ninri kekurangan uang.
Snap!. Secepat kilat Nara menangkap adegan ke-bengongan teman belanjanya dan ke-innocent-an Junjin. Nara terkekeh. Berlari-lari kecil menghampiri temannya.
“Dari mana saja?” Ninri berusaha menghilangkan rasa saltingnya.
“Hehe, coklat apel ini sangat menggodaku. Uang jajan untuk besok terpaksa berkurang” Menyodorkan satu tusuk coklat apel yang sudah hampir habis karena gigitan kearah Ninri.
Kelopak mata Ninri berkedip-kedip. Ada isyarat yang ingin diucapkan. Semakin cepat dia berkedip semakin Nara bingung memaknainya. Sekilas matanya bergerak-gerak dan melotot kearah pemuda yang sibuk menanti kembalian uangnya.
“Ah? Aigo…Junjiin!” Akhirnya Nara paham maksud winking tak jelas Ninri.
“Sssttt….” Telunjukknya membungkam mulutnya sendiri. Kemudian dia berdeham memulai percakapan dengan Junjin, “Aku tidak ingin ada hutang” ketusnya.
“Aku juga tidak ingin ada pencurian ditoko ini” ketus Junjin balik.
“Hah, maksudmu? Maksudmu kau menuduhku sebagai pencuri. Aku bahkan bisa membeli seluruh toko ini”
Mimik Junjin masih calm down. Senyuman mengejek terkulum disudut bibirnya, yang membuat Ninri makin terlihat  bodoh. Mengetuk-ngetuk etalase toko dengan nyamannya. Meraup uang kembalian sekaligus barang belanjaannya lalu memasukkannya dalam kantong kecil disamping mantelnya. Berdeham sejenak kemudian memberi salam pada si penjual toko itu dengan ramah. Masih tak bernafsu membalas serangkaian kata Ninri. Junjin hanya terhenyak sedetik didepan gadis itu, mengambil nafas dalam-dalam, dengan satu gerakan kecil ia mengibaskan kera mantelnya lantas pergi berlalu. Terdengar suara huwoo-an dari Nara.
“Aishh…gerakan apa itu tadi? Mengejek? Menantang? Dipikirnya ini catwalk apa, tapi ya sudahlah setidaknya masalahku teratasi” kritikan Ninri pedas tapi terselip semburat rasa salah tingkahnya sekilas. 
“Seandainya ada Sora. Hal ini akan beruntut panjang” Timpal Nara yang masih menerawang jauh Junjin yang sudah lenyap begitu saja.
*****
Festival bertema penyambutan native baru ‘Welcome to Ocean Art’ dimulai. Kali ini adalah harinya kelas musik, vokal, dan tari untuk mengisi acara sedangkan settingan panggung dan kostum dipegang oleh kelas desain. Penampilan pertama dari kelas musik bergabung dengan kelas vokal. Ramai sorakan dari penonton yang tak ikut sumbang suara atau menunggu giliran tampil. Ninri bersama teman bandnya tampil pertama. Ninri menyuguhkan segala kemampuannya sebagai satu-satunya gitaris wanita dikelas musik ditambah dengan senar biru muda barunya yang berbeda dari yang lain membuat rasa percaya dirinya naik dilevel teratas. Lagu berunsurkan ceria sudah menjadi ciri khas. Kelas musik dan vokal mendadak sangat seru karena diperkenankan untuk membawakan 5 lagu sekaligus.
Suasana riang dan gembira mendobrak aula sekolah. Sederetan kursi yang tadinya kosong untuk native dan para guru termasuk kepala sekolah beserta jajarannya sudah penuh dan terlihat sangat menikmati alunan lagu karya Ocean Art.
“Choi Ninri FIGHTING!!!~~~Music class BANZAI!!!” Dukungan para Venus dari sudut ruangan seakan membangkitkan semangat Ninri dari jauh. Semua bergoyang, ikut bernyanyi dan hal yang wajib adalah foto.
Penampilan pertama selesai dengan respon yang bagus dari penontonnya sebagai opening. Venus kembali keposisinya masing-masing bersiap untuk penampilan Sora dari kelas tari selebihnya masih asik duduk-duduk diujung aula. Menunggu teman segengnya unjuk gigi.
Kemudian dilanjutkan oleh sambutan hangat dari host dan sambutan resmi kepala sekolah. Hening dan kondisi khidmat terasa. Para native juga ikut sumbang suara untuk perkenalan. Acara masih berlanjut dengan menyenangkan. Makin siang makin meriah. Semangat masih berkobar dan makin memanas saat panampilan band Junjin tampil bersama satu rapper dari kelas kontemporer.
Selalu saja, pilihan Junjin jatuh pada Eric sebagai Rappernya. Kenapa tidak yang lain, kenapa tidak beatbox? Sepertinya sudah menjadi maskot kelas kontemporer. Mau tidak mau Venus hanya mengerang saat mereka tampil, menurunkan nada sorakan dari 10 oktaf menjadi 5 oktaf demi menghormati dan menggambarkan bahwa Ocean Art sangatlah kompak. Actually that’s really fake.
Akting Junjin sangatlah berlebihan menurut Venus. Perlu diwaspadahi kepopuleran mereka melonjak seketika ketika para Shinhwa sudah memegang alat musik dan mic. Kedua pemuda itu memakai kacamata hitam, memainkan gitarnya secara dominan yang satu memegang erat micnya dengan enerjik. Penggunaan kostum sentuhan made in Minwoo terpampang jelas diatas panggung. Kasual. Rambut acak-acakan Eric, gerakan poni Junjin sukses menuai teriakan paling membahana dari gadis-gadis.
“Junjin dan Eric adalah malpraktik dari produk Minwoo. Dasar Shinhwa selalu eksklusif” Ji Eun menggeleng lemas melihat dari sisi panggung sembari menggotong kostum anak tari yang akan tampil dipenutupan.
“Seharusnya kau dan Minwoo harus bersaing. Kan sama-sama desainer” Sora menepuk pundak temannya dengan santai.
“Sora-ya! Ji Eun-a!” Panggil Ninri dari arah belakang. Seceria penampilannya, ia menampakkan wajah lega setelah penampilan pertama tadi. Sora dan Ji Eun mengucapkan selamat kepada Ninri kemudian melanjutkan forum menghujat Shinhwa dibalik panggung.
2 menit sebelum permainan band Junjin berakhir. Aksi Junjin memukau. Dilemparnya sebuah Pic gitar kearah penonton. Menghambur, melompat, berteriak saling sikut para murid perempuan demi menangkap Pic yang melayang itu. Senyum puas Junjin tercurah. Eric memeluk Junjin dengan hangat. Tapi sayang sepertinya dari berpuluh-puluh wanita yang saling adu kekerasan tadi tak satupun yang memenangkan benda mungil itu.
“Huwooo….” 3 gadis dari balik panggung spontan terpukau.
*****
Welcome to Ocean Art berakhir dengan penutupan paling heboh dan keren dari kelas tari. Dance modern disuguhkan. Semua ikut menari, Sora yang paling semangat. Para murid laki-laki menghuru-hara. Hari yang menyenangkan bagi Ocean Art. Hari yang melelahkan juga bagi tim kepanitiaan yang harus membangun konsep dan sekarang saatnya untuk membereskan semuanya. Tradisinya, saat event berakhir demi menjaga kesolidan, semua artis yang mengisi acara juga turut membantu merapikan TKP sebagai ucapan terima kasih atas keberhasilan.
“Ayo semangat membersihkan segalanya” nada Ninri melemah. Diangkatnya sapu yang ia pegang tinggi-tinggi. Ia melihat teman-teman yang lain sudah kelelahan. Kebanyakan sudah terkapar tak berdaya dibawah panggung termasuk Ji Eun dan Sora yang tampak mengamati isi kamera Nara. Nara masih bertahan dengan urusan dokumentasi lipat melipat tripod dikejauhan.
Sepertinya tinggal mereka berempat yang sengaja berlama-lama diaula. Seluruhnya sudah menyelesaikan tanggung jawabnya. Gadis lemah tadi kembali bergelut dengan sapunya. Dimasukkan kedalam sebuah kolong kemudian tersangkut. Jdaak…jdaak. Kepalanya tertunduk, mengintip apa yang membuat sapu itu tak bisa keluar. Ada sesuatu disana, benda kecil kekuningan. Ada yang janggal. Aku pernah melihat benda ini sebelumnya tapi dimana? Penasaran.
Tangannya masuk sekalian kekolong, mengambil benda itu. Mungil dan keras. Wajahnya mengamati dengan serius. Terukir dua suku kata dipermukaan benda itu, ‘JJ’.
“Pic?”
*****
“Sepertinya aku lupa mengucapkan terima kasih atas pinjaman uangnya dan satu hal…” Cerita Ninri mulai berujung pada benang merah, “Aku menyimpan benda ini sampai sekarang…” mengeluarkan kotak kecil dari tas jinjingnya, “Benda yang kutemukan waktu festival dan benda itu tak sengaja masuk jepretan Nara sebelum festival. Kebetulankah?”
Digenggaman Ninri sekarang ada kotak bercorak animal print leopard. Kotak yang berisi benda koleksi pribadinya. Tersusun Pic gitar berbagai bentuk dan warna. Banyak sekali.
“Ahh…aigoo. Salah satunya yang kuning itu milik Junjin? Hahaha unik sekali. Benar-benar sial ya para gadis yang tak berhasil menangkap waktu itu” komentar Ji Eun meluncur pertama.
“Ajaibnya, kau tak pernah tau itu miliknya? Dan baru tau saat ini? Disaat kita sudah menjadi wanita-wanita dewasa? Ooo…jangan-jangan kau dan Junjin aaaa….” Goda Paran malu-malu.
“Memang seharusnya begitu bukan” Senyum tipis tergambar pada paras Ninri. Jari-jarinya menelusuri ukiran, mengikuti setiap lekukan segitiga yang masih kokoh. Semua kenangan melompat-lompat dibenaknya.Tertera dengan tegas singkatan ‘JJ’ untuk Junjin. Apa yang membuatnya menyimpan benda itu selama ini? Jawabannya, cukup waktu dan kenyataan yang akan menguak dengan sendirinya.

Sabtu, 13 April 2013

Time Machine (Part 2) -- Rescue Andy

“Aishh..masih lama kah mereka, perutku sudah lapar” Keluhan datang dari bibir Sora yang sedari tadi berdiam diri. Sebentar-sebentar mengaca didampingi Paran sembari menunggu apa yang tidak pasti.
“Kelas musik dan desain sedang banyak jadwal hari ini, mereka sedang persiapan festival penyambutan guru baru disekolah kita. Ji Eun sibuk mendesain kostum untuk anak kelas musik termasuk Hyurin dari kelas vokal. Ninri akan tampil pertama  dalam bandnya. Sekolah kita mendatangkan native dari Amerika langsung, keren bukan? Jadi walaupun dalam keadaan istirahat seperti ini mereka enggan untuk menanggalkan kesibukannya” Penjelasan Nara makin membuat Sora menggerutu.
“Bukannya kelas tari juga ikut tampil, Sora-ya?” Pertanyaan  Paran muncul dari sela-sela penggerutuan sahabatnya. Nara yang asik dengan kamera dilehernya menjentikkan jarinya tepat dihadapan Sora. Membuat gadis berambut coklat itu berkedip kaget.
Dancer tidak akan menari disaat jam makan, kita butuh energi” Sora membela hak-hak kelas tarinya, “Sudah, kita pergi kekantin, kita tunggu disana” tambahnya untuk mengakhiri percakapan.
Meski mereka tampak bersama dan selalu kompak, nyatanya persoalan ability yang sering mengganggu kebersamaan mereka. Terbagi menjadi kelas yang berbeda dengan karakter yang berbeda. Jika itu membuat jarak mereka mulai terasa jauh mereka akan selalu mengingat bahwa suatu saat Venus akan menjadi planet paling bersinar diantara planet-planet yang lain meski mereka berbeda, meski tak ditempat yang sama karena Venus saling bergantung karena Venus saling terhubung J
Tiga gadis kelaparan keluar dari zona nyaman. Toilet. Kantin terasa jauh dengan kondisi perut yang kurang bersahabat, hawanya pun terasa makin menguap, tenggorokan makin terasa kering. Ada apa dengan udara Seoul hari ini batin Paran menuntut keadaan, masih menggoyang-goyangkan kipasnya. Menyusuri kelas-kelas yang tampak sepi, terlihat para murid laki-laki sedang asik bermain basket dilapangan membuat Sora gelagapan tergopoh-gopoh menata setiap inci rambut bergelombangnya. 
Beberapa laki-laki terkesima lantas bersiul saat ketiga gadis itu lewat. Posisi menentukan kencangnya siulan. Siapa yang depan dia yang menjadi pusatnya. Selalu Sora. Nara yang bukan tipe mementaskan diri didepan umat manusia hanya bisa berdecak dan memotret segala pose Sora, sesekali mengambil gambar Paran yang kegerahan. Paran terlalu banyak bergerak menyebabkan gambar Nara sering nge-blur, terkadang hanya terlihat potongan rambut Paran yang pendek menutupi seluruh layar. Ketika Sora dan antek-anteknya menghilang dari pandangan seketika itu siulan dan lambaian tangan berhenti.
“Nanti pas dikantin aku mau cerita soal…”
“Stop!”
Belum sempat Paran melontarkan katanya, hentakan si Sora mengunci mulut gadis pemalu itu.
“Kenapa aku harus bertemu para SHITwa-- ” nadanya naik satu oktaf “—disaat aku merasa bahagia setelah melihat para lelaki keren bermain basket” memicingkan kedua matanya.
Nara dan Paran sontak tertegun melihat ekspresi Sora yang lurus mengacu pada empat laki-laki tak jauh dari mereka berdiri. Bergerumbul tak jelas ditaman kecil, yang satu hanya duduk dengan mimik sedih yang lainnya berdiri membawa kaleng soda dengan tampang beringas. Salah satu target tatapan Sora adalah laki-laki yang memakai topi berlogo E dijidatnya.
“Ah..Andy oppa~” Mulut Paran membentuk huruf O, kipasnya lantas menutupi mulutnya dengan cepat. Pipinya bersemu merah jambu. Matanya beradu cepat dengan Nara yang kebingungan. Mereka tau kini emosi Sora sudah diubun-ubun. Tanpa perlu mendengar komentar apapun ia melangkah dengan cepat menuju gerombolan itu, yang lain hanya berusaha mengejar parasnya yang semampai.
“Andy-a, Kau tau berapa harga topi ini sebelum kau tumpahi dengan soda murahan ini,hah?”
Melempar kaleng kosong kearah Andy. Lagi-lagi Eric memulai acara bullying berjamaah dengan kawanannya, Junjin dan Minwoo.
“A-a-aku tidak sengaja hyung” Andy terbata-bata. Wajahnya yang sudah putih pucat semakin pucat seperti kehabisan darah. Matanya berkedip-kedip ketakutan. Tubuhnya hanya bertekuk lutut dihadapan Eric dan gerombolannya. Lontaran kata-kata kasar mulai terdengar.
“Melempar kaleng soda yang masih berisi seenaknya, kau pikir kau siapa? ” bengis Junjin. Andy tertunduk pasrah berharap adanya malaikat penolong yang membela ketidaksengajaannya mencari gara-gara hanya karena saat itu dia kesal sendiri.
“Pasti dia sengaja” Cibir Minwoo.
“Heh, Shitwa menyingkir dari hadapannya!” suara ancaman datang mendadak dibalik punggung bullyers. Semua menoleh kebelakang. Tampak seimbang jika mereka tiga lawan tiga tapi yang paling berani masih dipegang oleh leader masing-masing geng.
“Kau bilang apa tadi?” Seru Eric menampakkan wajah meremeh temeh.
“SHIT-WA” Sora mengeja perlahan kata plesetan Shinwa dengan sangat cool, kedua tangannya terlipat kedepan. Telinga Eric memanas atas ejaanya, Junjin dan Minwoo seketika maju selangkah. Ditahannya mereka dengan lengan panjang Eric. Eric berdeham, topi berlogo E-nya ia putar kebelakang. Sosok Eric the rapper mencuat dari dalam dirinya.
“Wae? Mau dengar versi aegyo-nya?” Senyuman tipis terpapar dari bibir Sora, wajahnya sudah tak semaskulin tadi dan kemudian “SHITWAA~~ppoing~~ppoing~~…” sosok imutnya muncul. Bermaksud merendahkan martabat Shinhwa.
Hyaaa!!…detik itu juga raut wajah Eric memerah  seutuhnya antara marah ataupun tergoda dengan akting licik gadis yang selama ini dianggap bermuka dua dihadapannya.  Merasa tertantang bercampur salting menguar, disahutnya kaleng soda milik Minwoo. Dibuka segelnya cklaak…lantas dituang diatas kepala Andy yang sedari tadi hanya termangu. Raut mukanya sangat mengolok. Semua ternganga. Nara enggan kehilangan momen itu, kameranya terangkat, menyergap gerakan Eric dengan lensanya. Dibantingnya kaleng itu dihadapan Venus. Eric mengangkat satu alisnya. Cengiran senyumnya membuat wajah Sora yang dari imut menjadi mengerut. Kondisi Andy sungguh memalukan.
“Aku tidak suka bullying!!” teriak Sora ganas. Menggema diseluruh taman. Disaat yang bersamaan, “Andy oppa~~” desahan Paran terdengar lagi. Kali ini lebih lembut dari sebelumnya. Seperti menggunakan perasaan.
“Ini akan menjadi berita utama (lagi) di mading besok” suara Nara terdengar lamat-lamat.
Tak membuang waktu juga Sora mulai menyahut kaleng soda milik Junjin dengan amarah. Dibuka segelnya. Membalas siraman yang sudah ia lakukan terhadap Andy kearah Eric sambil berkata “Ini! Minum sodanya!! Praak..” kaleng soda terlempar.
“Aissh…jinjja!!” Eric basah.
“Paran-na, bersihkan dia” menuding Andy yang kini lepek. Paran antara malu dan bingung, “Ah..i-iya”
“Kenapa selalu muncul dihadapanku?” laki-laki bertopi merah itu mulai mendekati Sora perlahan. Cecunguk yang lain mengikuti pemimpinnya dari belakang meninggalkan Andy dan Paran kecuali Nara yang berubah menjadi paparazi disetiap kejadian.
“Sudah kubilang, aku tidak suka bullying dan aku juga tidak berharap bertemu denganmu, terlalu merusak suasana” jawaban tegas Sora membuat Eric hanya menatapnya dalam kondisi soda yang menetes di hidung dan pipinya. Aroma cola masih segar tercium. Yang lain hanya meng-huwo-kan dialog Sora. Sama-sama jengkel, mereka berdua hanya saling mengintai. 1 detik terasa biasa…2…3….tiba-tiba terasa canggung satu sama lain. Ada letupan aneh dikeduanya….terlalu bias untuk didefinisikan. Rasa marah atau kah rasa lain.
Jangan sampai aku berjodoh dengan makhluk macam ini…..keduanya hanya berusaha mengancam hati masing-masing. Meneruskan ledakan demi ledakan kata-kata pedas yang saling bersahutan.
Dasar Playboy….!!!
Playgirl…!!!
Biang Kerok!!!
Penyakit!!!
*****
Sementara itu, dikubu yang lemah ada Parah dan Andy yang saling menyemangati. Paran hanya bisa mengeluarkan tissu basah dan tissu kering, bingung memakai yang mana. Karena tepat didepannya ada laki-laki yang mendegupkan jantungnya, menghentikan aliran darahnya, mematikan segala saraf otaknya waktu itu juga. Yang ada seluruh pembulu darahnya bocor dan mengalir kepusat paling memalukan. Wajahnya. Seperti kepiting rebus mungkin terlalu biasa untuk kata pemalu tapi kini Paran berubah menjadi seonggok anak autis yang hanya melontarkan kata-kata ‘eee’ dan ‘eee’ sambil mengipasi dirinya sendiri yang kegugupan. Putri malu itu bertemu pangerannya, memendam rasa sejak awal jumpa.
“Mi-mian…mereka keterlaluan” Paran tak kuasa menahan sipunya.
“Ee..tak apa, kau Kang Paran dari kelas dramakan? Aku sering melihat kelas drama latihan di aula. Aku sering melihatmu berakting menjadi peri penolong” Andy melempar senyuman manisnya kearah Paran yang kini menyodorkan kedua kotak tissunya. Wajah Andy sudah tidak sepucat tadi, malah terlihat sangat tampan saat ia sekedar mengulum senyum saat rautnya masih dipenuhi cola.
Ah..ottoke…dia tau aku siapa…aku si peri penolong. .>///< Paran mulai gemas dengan semua ini.
“A…aku juga sering bermain di kelas lukis. Andy oppa..eh maksudku kau sudah terkenal diOcean Art. Karyamu sempat dijadikan pameran di eeee….” Tangannya bergerak-gerak keatas dan kebawah begitu pula matanya yang tak habis-habisnya berkedip-kedip. Lucu. Laki-laki dihadapannya memiringkan kepalanya, tawanya makin lebar mengamati Paran yang makin tak terkendali.
Tiba-tiba Andy menyambar kipas pink digenggaman Paran yang kelimpungan. Untuk pertama kali ia berpisah dengan kipas pinknya dan untuk pertama kali kipasnya berada digenggaman laki-laki. Laki-laki yang disukainya memompa angin kearahnya. Bermaksud memadamkan pipinya yang merona malah semakin memperburuk keadaan Paran. Andy tetap menggoda dengan mengipasi gadis uncontrol dihadapannya.
“Kyopta” celetuk Andy perlahan.
“Paran-a sudah selesai main kipasnya?” goda Nara antusias, “hadap sini donk..1 2 3 cklik yuhuu…” teropong Nara masih suka memeriahkan keadaan. Sontak mereka berdua sama-sama malu. Paran meminta kipasnya kembali dengan sabetan cepat.
“Bagaimana keadaan Kim Sora dan lawan duelnya Eric Mun?” mendadak dialek Paran berubah formal karena gugup.
“Ah seperti biasa, tidak ada yang benar-benar menang ataupun kalah. Tapi aku sudah mengambil banyak gambar ditiap adegan cekcok mereka yuhuu..Pasti member yang lain suka. Aku menanti saat mereka benar-benar tidak sekedar adu mulut”Nara girang ditambah dengan kepala yang manggut-manggut menyetujui ide liarnya sendiri.
Sora kembali dari tanah konflik. Rasa lapar sudah tidak menjadi alasan untuk membasmi pembullyan. Masih terbelenggu rasa emosi, dia mendatangi sekumpulan kecil kubu pemalu. Gaya kedatangannya sama dengan Eric. Berkacak pinggang kedua alisnya bertautan. Tak peka terhadap kondisi kasmaran yang diderita sahabat pemalunya, dia hanya mengumbar kegengsiannya. Dengan sigap Andy bangkit dari keterpurukan. Saat di berdiri tingginya ternyata melebihi Sora yang kini kepalanya kembali meluangkan waktu untuk mendongak tapi tak terlalu keatas dari pada harus berhadapan dengan Eric tadi.
“Jangan salah paham atas kedatangan kami, aku hanya tak suka dengan pesta bullying atau semacamnya. Jadi..siapa namamu?”
“Andy”
“Ya. Jangan berusaha mencari masalah dengan mereka”
Andy hanya mengangguk-angguk diikuti Paran yang bingung harus berkomentar apa. Sora melenggang pergi tanpa percakapan lebih lanjut, memperbaiki moodnya yang bercucuran. Nara mengekor dibelakang. Ada gangguan aneh diotak gadis yang sedang over temper itu. Beberapa ucapan Eric seperti panah didagingnya tapi ada satu kalimat yang membuatnya sedikit melenceng dari kebiasaan. Eric Mun sial…
“Andy –a fighting!!” Paran dengan sangat genit, mungkin ini pertama kalinya dia segenit itu menyemangati pangeran kacaunya. Mereka berdua saling mengerling, saling menyunggingkan senyum seolah-olahh merekam kenangan manis semenit yang dirasakan. Benda bernama kipas sangat mencairkan suasana lalu—
“HYAA!!! Paran-a kau akan membelikanku ice cream jika dalam 5 detik tak kunjung menyusul” Sora benar-benar mengaum. Kaki kecil putri malu terpaksa berlari menghampiri sang ratu.
*****
Applouse paling meriah datang dari Ninri yang memegang foto bertema ‘Rescue Andy’ diputaran terakhir, “Masa awal dimana bumbu asmara menyeruak. Cerita makin seru. Ayo lanjutkan”.
“Kita adakan permainan. Anggap saja kartu, foto ini akan ku balik dan satu persatu harus memilih foto. Foto apapun yang kalian dapat, kalian harus menceritakan kisahnya. Setuju?” tawaran lucu meluncur dari si fotografer kepada member yang lain.
“Setuju” Tanggapan mereka serentak.
Kedua tangan Nara menggebrak meja bundar perlahan. Kelima wanita yang lain membantu Nara dengan meminggirkan gelas dan piring cakenya. Mulai dibalik semua foto lantas ia putar-putar seperti mengaduk segelas kopi. Ekspresinya misterius dia menunjuk seseorang. Jari-jarinya bergetar, matanya terpejam, mulutnya komat-kamit layaknya nenek sihir membaca mantra. Semua sangat berlebihan namun konyol.
“Aku memilihmu, wahai engkau si baju kuning sebersinar mentari, seceria pagi menyambut jagat raya. Choi Ninri!!”
Matanya menyipit, mulutnya terbuka ceria berakting manis manis. Diraupnya satu foto—
Here we go----

TBC

Time Machine (Part 1) -- Introduce

Percayakah dengan adanya sebuah kebetulan? Ketika semua disetting dalam panggung drama yang Tuhan ciptakan tanpa kau ketahui. Semua tingkah laku bahkan semua rasa; amarah, ceria, senang, sedih, pertemanan, kebodohan, kekonyolan berputar seperti roda. Masa dimana semua akan menjadi kenangan, menjadi masa lalu yang tak mungkin terlupa. Iya, masa putih abu-abu; semacam susah ditinggalkan. Bahkan kejadian ini akan menjadi titik temu yang mengejutkan untuk perjalanan hidup Venus.

Seperti biasa para lady Venus enggan meninggalkan kegiatan yang bersifat mengobrol dan mengopi di cafe yang letaknya ditengah distrik Gangnam. Nuansa berunsurkan senja, cahaya matahari masih meruam disekitar tempat mereka berdiri sekarang. Salah satu dari mereka hanya bisa berteriak kesal karena sudah melewati antrian panjang kemacetan untuk sekedar memarkir mobil mereka, “Hyaa! Kenapa selalu saja mengantri”

“Sora-ya, Aku kira kau sudah terbiasa dengan segala keruwetan macam ini, ternyata masih berkoar juga” sahut Kang Paran dengan cengiran mautnya.

“Semoga para pelayan cafe bisa menurunkan aksi bad mood, Sora” timpal si gadis paling mungil Choi Ninri. Sekilas tampak  Kang Paran mengangguk-angguk sembari memelintir rambutnya dengan ujung jari-jarinya.

Tanpa banyak bicara lebih lanjut, lady Venus sudah berdiri didepan pintu seolah menunggu pintu café terbuka dengan sendirinya. Tak ayal, dengan segala kedramatisan, pintu itu terbuka lebar, memang tau betul siapa yang akan datang. 6 wanita yang digawangi oleh si cuek Kim Sora, beranggotakan Kang Paran, Choi Ninri, Jung Ji Eun, Park Hyurin, dan Song Nara ini bertampang entertaining berunsurkan disaster sparkling, menyilaukan mata setiap umat didalam café tersebut termasuk para pelayan café Shinhwa.

Dandanan ala glamor kontemporer selalu menghiasi masing-masing dari mereka. Pembawaan yang  lebih dewasa, dengan mini dress modern dipadu padankan dengan penggunaan kacamata hitam yang sesuai dengan karakter mereka dan sebagian lagi hanya memakai lensa kontak yang membuat penampilan mereka tampak lebih muda membuat  para pelayan dengan segala hormat menyambut mereka, berbeda dengan pelanggan yang lain. Venus bukan owner bukan juga pembeli, mereka hanya sekumpulan kecil wanita popular yang suka menjajah café Shinhwa, tak ingin disebut pelanggan setia.

Meja bundar bernomor 6 selalu menjadi pilihan Venus untuk berlama-lama disana hingga café tutup. Apa yang mereka cari? Siapa sebenarnya mereka dan untuk apa? Banyak pertanyaan yang muncul disetiap kedatangan mereka dihari itu dan jam itu ditiap minggunya. Komentar paling ganas adalah Venus merupakan fans fanatik pelayan café Shinhwa. Bagaimana tidak, sekarang mereka duduk dengan anggunnya. Pelayan mendatangi dengan ramah, mengelilingi mereka dengan sosok yang berwibawa.

Café Shinhwa terkenal dengan pelayan yang maha-welcome dan hanya 6 orang yang mengelolah café itu. Wajah mereka bukan seperti pelayan, sebagian pembeli mengira mereka adalah boyband gawanan SM Entertainment, dimana agensi itu adalah tempat semua artis Korsel bermuara. Sebagian lagi mengatakan bahwa mereka adalah model dengan lebel agensi western berkedok pelayan dan yang paling parah adalah mereka memang dilahirkan keren dan tampan kemudian bertemu pada titik kejenuhan menjadi orang yang paling digandrungi, lantas membuka café dengan profesi mereka saat ini, karena sosok mereka memang tak manusiawi.  Jelas saja, café mereka sangat lah ramai dan banyak penggemar.

Menu telah disodorkan pada masing-masing Venus. Diam sejenak, memandangi menu, kemudian menutupnya.

“Seperti biasa” Ji Eun menjentikkan jarinya. Pelayan hanya berdeham pelan lalu melenggang pergi kecuali pelayan dengan postur paling tinggi yang berada disamping Sora tampak menyerngit.
“Tidak ada menu tambahan, membosankan” ujar Sora selengekan.  Matanya sedikit melirik kearah pelayan disebelahnya. Ekspresinya sedikit menahan kesal lalu menghela panjang dan pergi. Sora dan yang lain tersenyum geli.

Sambil menunggu pesanan yang dikata Ji Eun “seperti biasa” tadi. Si tembem Nara sibuk mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, tak lupa tangannya yang sering mengayun-ayunkan kamera poket kecil miliknya pertanda photomoment dimulai. Snap..snap..snap. Suara jepretan membuat teman-teman yang lain mengerang “aah…belum sempat berpose nih” celetuk Ninri dengan tampang sedikit kecewa.

“Aku punya ini..ayo kita nostalgila” suara lantang dari Nara membingungkan semua member Venus. Sebuah amplop coklat tampak penuh digenggaman tangan Nara yang kecil. Matanya yang bulat tampak menyipit saat dia mulai membuat penasaran. Hyurin melepas kacamata hitamnya, membaca terbata-bata setiap tulisan yang tertera diamplop lalu tercengang, “O-ur Sto-ry. Woo…..”

Tawa Nara meledak saat melihat ekspresi kaget teman-temannya, “Ya, didalam sini cerita kita dimulai. Semua moment yang kita lalui, moment suka duka bahkan skandal; semuanya tak pernah absen dari mata lensaku. Moment SMA ”. Tangan Nara memutar-mutar, membuka ujung amplop lalu dituang semua isinya hingga berceceran di meja bundar itu.

“Sebanyak ini kah, foto foto kita?” mata Ninri berbinar-binar.
“Jinjja? Lihat, bukankah ini foto pertama kita ditahun pertama sekolah dan ini kali pertama juga saat, Nara memiliki kameranya?” Paran tercengang saat tangannya mulai gemas mengambil satu foto paling ramai, foto bertuliskan ‘oppa moment’ diantara foto-foto yang lain. Yang paling jadul dan paling menggelikan baginya. Gambar itu mulai memutari yang lain. Tampang mereka antara lucu dan menahan tawa. Secara otomatis semburat pipi merah ditunjukkan oleh  Hyurin yang notabene pamalu disegala suasana.

*Flashback beggining*

“Kenapa kita membolos hanya demi ini!”  Hyurin sibuk meraung lantaran menunggu Nara mempersiapkan tripod dan memasang kamera barunya.
“Tsk, dasar anak rajin” sinis Sora, “Paran-a bisa kau ambilkan minumku, disini mulai panas”. Paran yang sedari tadi menikmati musim panas dibelakang sekolah, hanya bertampang santai dan pasrah menerima suruhan dari Sora, “Oke..oke”.
“Ayo..ayo semua berbaris disini, ya! dibawah pohon akan terlihat bagus sekali. Kamera pertama harus diisi dengan foto pertama Venus. Yuhuuu…” Nara mengarahkan teman-temannya dengan sangat ahli.
“Aku ditengah…aku ditengah” Ninri tiba-tiba menghambur membelah sisi tengah barisan, “Kau lupa siapa leadernya”, tatapan Sora melayang, menghujam Ninri yang terlanjur girang,
“Mian..hehe” 
“Poniku tidak terbelahkan?” semua sibuk dengan dandanan masing-masing termasuk Ji Eun yang kali pertama membuka suara karena sejak tadi dia sibuk dengan kacanya dipojokan, “Aigo! Hyurin-a! Lepas kacamata itu, kau tampak cupu sekali. Ini foto pertama kita. Kenapa ekspresimu seperti itu?” menunjuk kearah  Hyurin yang kini tampak murung.
“Seperti biasa, dia anak dengan record tak pernah membolos, sekalinya bergabung dengan kita, image-nya terjun bebas..haha!” guyonan Sora membuat  Hyurin semakin terpuruk.
“Bagaimana jika ada penjaga yang tau kita membolos lalu dibawa keruang treatment itu memalukan”
“Sudahlah nikmati musim panasnya” sahut Paran tetap santai.

Nara melihat kemballi posisi layar, mengatur timer dengan sangat pas. Memencetnya kemudian berlari kearah teman-temannya sambil berteriak “10 detik lalu teriakkan OPPAAA~~”
“OPPA???” semua tercengang.

3…2…1 tak banyak waktu, sontak ditengah kebingungan ‘kenapa harus berkata oppa?’ Venus tetap eksis dijepretan bertagline OPPA~~pertama mereka. Pose mereka tampak berberbeda-beda sesuai karakteristik mereka. Si Pemalu  Hyurin dengan kacamata cupu dan senyum malunya, Ji Eun si master fashion, bertahtakan jepit rambut warna warni disetiap inci kunciran rambutnya, si penurut Paran memegang kipas pink kesayangannya, image ceria Ninri,  dengan senyuman paling meriah yang pernah ada, Nara si fotografer berpose ‘saranghae’ dan Sora dengan gaya paling menggoda yang pernah ada.

“Semenggoda ini kah aku dulu?” tanya Sora dengan wajah tak berdosa.
“Seantero sekolah juga tau kalau kau playgirl” celetuk Ji Eun, seketika Sora pura-pura tak mendengar.
“Lantas, apa yang terjadi setelah foto ini?”
“Ketahuan penjaga dan kita dihukum. Nara sempat mengambil gambar saat kita dihukum. Ini…” suasana menjadi hening akibat kebodohan masa lalu.
“Pesanan, untuk meja nomor 6” salah seorang pelayan bersuara parau membuyarkan sejenak ingatan mereka tentang masa SMA. Berbagai jenis minuman beraneka warna dan cake manis tersebar menarik dimeja. Para pelayan sedikit tergelak lalu mengulum senyum melihat tumpukan foto tertimbun didepan mereka. Penasaran. Tak ingin tau lebih lanjut mereka cepat-cepat pergi melayani pembeli yang siap diisi makanan dalam perutnya.
“Terima kasih selamat sibuk tetap semangat, Oppa~” kata-kata penyemangat datang dari Ninri seperti biasanya.
“Genit woo genit!!” semua member Venus menggoda Ninri. Ninri tersipu malu.

Beberapa dari mereka menyeruput minumannya, sebagian lagi mulai memakan cream cake sesuap dua suap. Nara menunjukkan foto berikutnya dengan sangat antusias “Skandal kita diawali dari ini, musuh bebuyutan, lawan tanding eksistensi kita, Shinhwa”

“OMG…benar-benar sama dengan nama cafe ini” Ji Eun menahan tawanya. Semua mulai melirik satu sama lain kemudian fokus kearah foto yang dipegang oleh Nara. Foto itu menggambarkan betapa eksisnya geng mereka yang berhadapan dengan geng lawannya. Cengiran menghina datang dari kedua leader dari masing-masing geng. Ditengah-tengah muncul sosok pemuda dengan tampang frustasi yang membentangkan tangannya seakan ingin melerai mereka.
****
            Ocean Art High School masih megah dengan bangunan bermodel tradisional Korea, memang dikemas seperti itu. Simpel dan sederhana namun melahirkan murid-murid yang berpotensi dalam bidang seni. Seni kerajinan tangan, menari, melukis, fotografi, bermusik semua kumpul menjadi satu. Terlepas dari bakat mereka dan sistem pendidikan yang menuntut mereka menggali kreatifitasnya , ketimpangan dari segi manner sekelompok murid masih dipertanyakan disekolah ini, menjadikan warna tersendiri bagi memori mereka kelak. Popularitas dan eksistensi.
            Shinhwa seperti mendarah daging diwilayah Ocean Art, bagaimana tidak, kelompok yang paling player dan big liar ini selalu menjadi sorotan utama pemberitaan sekolah. Dibawahi oleh Eric si Leader dengan image play and bad boy, Junjin sebagai center dari ke-charming-an Shinhwa tapi sama nakalnya dengan Eric, penyuka bullying dan terakhir ada Minwoo dengan segala style M nya yang narsistis. Lengkap sudah penderitaan Ocean Art. Tandingan yang pas untuk Shinhwa adalah Venus. Enam wanita lawan tiga pria bukan masalah besar tapi makin menambah kehancuran tersendiri.

“Lihat, Hyung…aku berhasil mengabadikan war moment mereka. Ayo ikut aku, pasti sangat seru!” Kim Dongwan si fotografer mading sekolah, penebar isu-isu dan fakta yang ada disekolah dengan senyuman paling manis seantero sekolah mulai mengompor lalu melompat kegirangan pada ketua OSIS, Shin Hyesung sembari menyodorkan hasil jepretan ter-hot yang ia dapat.
“Aigo~~ kenapa mesti mereka lagi sih..” kedua tangannya menepuk keras dikepala membuat poni depannya tampak bergoyang.

Disisi lain, perang dingin masih berlangsung. Lorong sekolah hanya berisi Shinhwa dan Venus, saling tatap dan saling diam. Auranya seperti ingin membunuh satu sama lain. Sangat klasik. Disebelah mereka terpampang mading dengan judul terskandal dari Eric ‘Eric Shinhwa kembali membully Van Gogh Ocean Art’. Tanpa isyarat, tanpa membaca sedikitpun, masih dalam keadaan termangu saling menatap. Sora angkat bicara.
“Aku pikir, apa hebatnya membully Andy. Selalu saja mengerjai orang-orang yang lemah. Apa kau merasa iri dengan bakat melukisnya seperti Van Gogh, jabrik?”

Junjin dan Minwoo sontak menahan tawa melihat ekspresi kesal Eric yang dikata jabrik, membuat Eric sempat menyikut perut Junjin. Eric membengis, tangannya mulai terangkat satu, jarinya menunjuk kearah mading disebelah berita skandalnya, mengetuk kacanya. Tubuhnya yang jangkung sedikit menunduk berusaha mendominasi tubuh Sora yang kini melangkah mundur.
“Baca yang jelas. High-light….Pasangan Kim Sora dan Anak Kepala Sekolah Go Publish. Dasar playgirl!”
“Pabo-ya!!!”

Geraman dari Venus seakan menggetarkan lorong sekolah. Cekcok mulut detik itu juga terjadi. Ninri sibuk menyemangati leadernya yang makin memanas bersama Eric. Minwoo hanya terdiam dan sesekali menjulurkan lidahnya kearah Ji Eun. Paran dan  Hyurin masih takut-takut untuk beradu mulut sehingga yang dilakukannya hanya minggir dan mulai membaca mading. Kilau flash makin membuat keadaan memanas karena tiba-tiba datang beruntun dari kamera Nara. Kericuhan makin memanas saat Dongwan dan Hyesung turut andil dalam pertengkaran tak penting mereka. Bersamaan dengan itu semua, Hyesung berusaha melerai dengan frustasinya.

“STOOP!!!! Selalu saja seperti anak kecil!” pekik Hyesung. Kondisi hening sesaat. Shinhwa dan Venus memandangi Hyesung dengan tatapan tajam. Heningan hanya berlangsung sedetik.
 “HYAA!!!” Eric dan Sora meneriaki Hyesung dengan kencang. Mereka berdua memicingkan matanya, Hyesung menelan ludah. Hanya bisa menghela nafas dan menggeleng tak karuan. Dongwan dan Nara tersenyum puas melihat hasil tangkapan terakhir foto mereka. Adu mulut masih tetap berlanjut. Pose yang pas untuk ‘war moment’ benar-benar terpampang jelas dikamera Nara.
“Muka Hyesung antik sekali disini, kasian haha” ujar Ji Eun menertawakan foto kenangan bertuliskan ‘Musuh bebuyutan’
“Sebenarnya apa sih yang membuat kita selalu bertengkar tidak jelas?” pertanyaan menohok Ninri membuat member lain tersentak.
“Eum…mungkin karena unsur gengsi dan ketakutan diri kita akan eksistensi yang menurun sehingga pada pencapaian aktualisasi diri…”
“ Hyurin-ya….berhentilah memakai teori absurd” Paran memotong ucapan  Hyurin dengan ekstrem sambil mengayun-ayunkan sendok cakenya.
“Aku jadi makin penasaran soal jaman SMA kita selanjutnya. Soal Andy, dan diam diam aku mengabadikan moment ini..” Nara mengambil foto berikutnya. Foto yang ia jepret bertuliskan ‘Rescue Andy’. Gelak tawa mereka membahana lagi. Tampang Kang Paran langsung bersemu merah, ia berusaha menutupinya dengan kipasnya tapi masih tembus pandang.
“Andy waktu itu terlihat memalukan” komentar Paran.

Apa kisah selanjutnya? Kenangan apa lagi yang akan diulas dalam bingkai foto yang mereka kumpulkan selama 3 tahun?
TBC